AAM 08 || Benarkah?!

126 5 0
                                    

Saat kita sedang jatuh jangan terlalu terpuruk dengan keadaan, bangkit dan berdirilah, melihat sekeliling kita, ada banyak orang yang mencintai kita tanpa pamrih, ada banyak orang yang mencintai kita tanpa berbicara, ada banyak orang yang berharap agar kita berubah menjadi lebih baik.

Keterpurukan hanya akan membuatmu menjadi lebih buruk, kesedihanmu hanya akan menjadi benalu dalam hidup mu. Bersedih boleh, tapi jangan berlarut, jangan sampai memandang dunia dengan kesempitan yang sedang kau rasakan, jangan berniat mengakhiri hidup mu dengan cara yang mengenaskan.

Ingatlah, Allah atau tuhan kalian tidak akan memberi cobaan yang melebihi batas kalian. Dia adil tanpa kalian sadari, Dia memberi tapi juga mengambil, bukan karena Dia pamrih, tapi agar kalian tidak terlalu terlena sama dunia kalian, agar hidup kalian tidak terlalu monoton.

Sedih dan bahagia itu satu paket, seperti Internet dan google.

.

Rudolf benar-benar menyanggupi keinginanku untuk kepantai, seharian kita berada di tepi pantai, menunggu sunset, fenomena alam yang kemunculannya selalu sebentar namun di tunggu-tunggu oleh kebanyakan orang.

"Kenapa loe sekarang jarang gua pergi-pergi ketempat gak jelas lagi?" tanyaku menatapnya yang sedang memotret hamparan di depan kami.

Kepalanya menoleh, menatapku sejenak sebelum kembali asik dengan handphone-nya, untuk memotret hal yang menurut-nya unik.

"Karena gua pikir, loe udah gak perlu terapi,"

Kugeplak kepalanya sebal. Dia terkekeh, melirikku sejenak dan kembali asik dengan dunianya sendiri.

"Emangnya gua gila apa, pake terapi." Kataku sewot, tanganku melukis hal abstrak di pasir, namun mataku masih menatap Rudlof yang sibuk sendiri.

Rudolf menggelengkan kepalanya, matanya masih sibuk dengan pemandangan yang dia tangkap melalui lensa Handphone.

"Gak semua orang harus gila dulu baru terpai, Ta."

Aku mendengus, kata-katanya menyakitkan hati.

"Apa orang yang kakinya patah harus nunggu gila dulu baru di terapi?" dia berbicara, namun masih sibuk dengan lensanya. Aku benci diabaikan!.

"Itukan beda,"

"Sama-sama terapi kan?"

Aku mendengus kesal. "Tapi kakinya sakit, makanya dia perlu terapi untuk penyembuhan. Dan penyembuhan itu hanya di berlakukan untuk orang yang sakit agar mereka bisa sembuh!"

"Tau, dalam kasus kamu itu beda," Mataku mendelik jengkel. "Kamu harus di sembuhin dari Zona aman kamu, biar kamu gak selalu berpikir sempit tentang dunia ini. Dunia itu gak sesempit daun singkong."

"Daun kelor, Dolf!"

"Itukan kata mereka, aku juga punya kata-kata sendiri dong! Emangnya gak boleh?" katanya menatapku dengan senyuman jail.

Kepalaku melengos kesal. "Sama aja, kata-kata kamu itu kayak aku lagi butuh penanganan."

Alisnya menukik satu dengan ekspresi geli terpancar jelas di sana. "Emangnya kamu gak pernah nyadar hidup kamu kayak gimana?"

Mataku melotot jengkel, tanganku mencubit lengan kerasnya kencang. Dia memekik kesakitan.

"Enak aja kalo ngomong,"

Dia terkikik kesal. Aku mendengus.

"Kenyataanya kan, heum?" katanya jail, alisnya naik turun minta di kerok.

"Enggak!"

"Masak?"

Mataku mendelik jengkel, mendengus dan menumpu dagu di lutut, tanganku memeluk kaki dan menatap hamparan air serta pasir di depan.

Ajarkan Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang