mencintai seseorang bukanlah hal yang sulit, yang paling sulit itu membenci orang yang kita cintai sepenuh hati, mencoba melupakannya meski kenyataanya kita masih dan terus mengingatnya, membayangkannya, mengharapkannya untuk selalu di sisi kita.
T...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari ini aku berniat membeli kado untuk Anniversary yang di gembor-gemborkan Rudolf kemaren, karena aku tidak tau mau mengado apa, akhirnya aku menguhubi Sinta, berjanjian ketemuan di mall. Tapi orang yang di tunggu belum muncul juga.
Mengingat nama Sinta, membuatku ingat chat-tingan tidak jelas sama cewek yang juga bernama Sinta, namun jelas mereka berbeda, meski namanya mencurigakan.
"Hey, udah nunggu lama?"
Kepalaku menoleh, menatap Sinta dengan tampang kesal.
"Udah lumutan gua, Sin."
Dia terkekeh. "Sorry, tadi abang lemot sih, cuman minta di anterin ke sini persyaratan seabrek."
Aku tersenyum geli, berdiri dari duduk di kursi yang di sediakan Mall dan berjalan kearah escalator.
"Yaudah gua maafin,"
"Tapi loe ngajak gua kesini ada apa? Biasanya kan loe sibuk sama Rudolf."
Aku meringis mendengarnya, terdengar seperti... melupakan sahabat setelah mempunyai pacar.
"Gak setiap hari juga kale, gua perginya sama Rudolf."
Dia memasang wajah sok shock. "Gak setiap hari?" kemudian mencibir. "Kalian gak berdua doang itu kalo loe lagi di kelas sama di WC."
"Lebay loe ah, gak segitunya juga kale!"
Dia mendengus geli. "Loe belum jawab pertanyaan gua, Monyet!"
Aku terkekeh salah tingkah. "Guam au beli kado buat Rudolf."
Sinta memandangku dengan pandangan aneh. Aku juga memandangnya tidak kalah aneh.
"Ada apa?"
Sinta menggeleng. "Buat apa? Ultah Rudolf kan masih jauh."
Aku menatap Sinta tidak percaya. "Kok loe bias tau ultah dia?"
Entah ini hanya delusiku saja atau memang benar, kalau Sinta seperti tergagap, seolah dia baru saja mengatakan hal yang salah.
"Facebook dia, kebetulan gua inget, kan Ultah dia beda sebulan sama gua."
Keningku berkerut tidak percaya, tapi memangnya ada penjelasan yang lebih masuk akal ketimbang itu? Tidak kan? Lagian Rudolf kan sudah menjadi artis playboy di kampus, jadi bukan hal yang aneh kalau banyak orang tau.
"Gua pikir loe juga sama Rudolf," kataku iseng. Memperhatikan etalase took yang berjejer rapi. Mau beli kado apa? Baju? Udah pasti mainstream. Jam? Dia sudah punya banyak. Topi? Di kira dia mau manggung? Sepatu? Sudah sekamar dia. Eumh... apa ya?.
"Menurut loe gimana kalo gua suka sama cowok?"
Kepalaku menoleh, menatapnya bingung. "Ya baguslah, artinya loe masih lurus."