Bab 5 : Rumah yang Besar

13.5K 63 1
                                    


Bagi Adira perjalanan kali ini terasa begitu lama. Jika tak kunjung sampai dia takut jantungnya akan meledak di dalam mobil. Karena tak mampu menanggung rasa gugup yang kini dia rasakan.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Melewati kawasan tepi hutan yang sepi. Tak satupun kendaraan yang melewati kawasan tersebut. Karena banyak penduduk kota yang jarang melewati kawasan ini. Mungkin karena sepi dan gelap. Banyak penduduk lebih memilih untuk memutar melewati jalan tepi sungai daripada harus melewati tepi hutan. Walau jalan yang ditempuh jauh, tetapi melewati tepi sungai cenderung lebih banyak orang. Kawasan tepi sungai berjajar kedai-kedai yang buka hingga tengah malam hanya untuk berjaga-jaga jika ada dari para pekerja di kota sebelah baru saja pulang dan ingin singgah sebentar untuk makan atau sekedar minum.

Waktu di jam tangan Adira masih menunjukkan pukul 08.25 tetapi keadaan disekitar sudah terlihat gelap sekali, karena kawasan tersebut tertutup oleh ribuan pohon jati yang tinggi sehingga cahaya langit yang masuk terhalang oleh daun-daunnya yang tumbuh dengan lebat.

Adira merasa sedikit takut, karena terpengaruh oleh keadaan sekitar yang sepi dan gelap. Seumur hidup Adira, dirinya tak pernah berpergian sejauh ini hingga harus melewati tepi hutan pohon jati.

"apakah tujuan kita memang harus melewati daerah ini, Pak?" tanya Adira takut-takut.

Tak ada jawaban dari Pak Alvian. Keadaan itu membuat Adira semakin takut. Dia membayangkan bila dirinya tiba-tiba berhadapan dengan kondisi seperti di film-film yang pernah dia tonton di televisi. Film horor, film yang paling ia benci.

Adira memberanikan diri untuk menengok ke samping melihat kondisi Pak Alvian yang sedang menyetir. Pak Alvian hanya terlihat fokus menyetir dan sepertinya tidak mau diganggung. Mungkin karena terlalu fokus hingga dia tak mendengar suara Adira.

"Pak.. Pak Alvian." Panggil Adira berulang-ulang.

"saya dengar suara kamu, tidak perlu berulang-ulang memanggil nama saya. Maaf jika membuatmu gelisa dan takut, sabar sebentar lagi kita sudah sampai tujuan." katanya misterus.

Belum beberapa menit berselang mobil berbelok kearah tikungan disebelah kanan. Memasuki hutan tidak lebih dari 5 meter mobil berhenti. Mobil Pak Alvian berhenti tepat di depan bangunan megah bercatkan putih gading. Bangunan tersebut lebih banyak memiliki kaca daripada kebanyakan rumah-rumah di Kota pada umumnya. Dua pilar besar terbuat dari kayu berdiri masing-masing di kanan dan kiri bangunan. Membuat bangunan itu semakin besar dan megah.

Pak Alvian membukakan pintu dan menggandeng tanngan Adira. Adira melihatnya dengan takjub. Bangunan itu unik. Untuk menuju pintu masuk harus melewati beberapa anak tangga yang tidak terlalu tinggi. Pintu masuknya pun terbuat dari kayu yang secara otomatis dapat terbuka bila ada orang yang ingin masuk.

"Selamat datang di rumah orangtuaku." kata Alvian memberi sambutan.

"Mengapa kita harus berada di sini, Pak?" tanya Adira.

"jangan panggil saya Pak, bicaralah sebiasa mungkin. Karena aku tak ingin orangtuaku curiga dengan rencana kita ini."

Di dalam bangunan itu terdapat ruangan yang sangat luas, mungkin bila dibandingkan dengan rumah yang dia miliki tak dapat dibandingkan. Di dalam ruangan tersebut ada anak tangga yang cukup tinggi untuk dapat menuju ke lantai atas. Di tengah-tengah ruang terdapat tempat duduk yang cukup besar dan terlihat mahal dan indah warnanya.

Tetapi menurut Dira walau terlihat megah dan besar rumah milik orantua Alvian terlalu menakutkan untuk ia tinggali. Karena Dira lebih memilih rumah yang sederhana tetapi dipenuhi dengan hangatnya kebahagiaan keluarga.

Tiba-tiba seorang wanita dan laki-laki paruh baya turun dengan anggunnya, melangkahkan satu demi satu anak tangga yang ada di ruangan itu. Bak seorang ratu dan raja yang menuruni tangga singgasana.

"mereka adalah orangtuaku." Suara Alvian yang serak terdengar tepat ditelinga Dira. Membuatnya merinding dan memikirkan hal-hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Adira tersenyum dan memberi salam kepada kedua orangtua Alvian. "selamat Malam tante dan om." lalu mencium tangan mereka.

"jadi wanita ini yang ingin kamu kenalkan kepada kami?" tanya sang Ayah tegas. Ayahnya adalah sosok laki-laki yang keras, tegas namun tetap berwibawa. Sedangkan sosok wanita yang berdiri disebelahnya sangat berbeda. Ibu Alvian adalah sosok wanita yang ramah, murah senyum dan anggun. Terlihat jelas dari caranya berpakaian dan berjalan. Seorang wanita yang sangat menjaga penampilannya dimanapun ia berada.

Hingga membuat Adira mengerti mengapa Alvian memilih untuk tinggal dengan kakeknya dibandingkan dengan kedua orangtuanya sendiri. Adira melihat dengan jelas bahwa kedua orangtua Alvian lebih mementingkan pekerjaan mereka dibandingkan anak semata wayangnya. Anak tunggal yang mereka lahirkan yang seharusnya mereka rawat dan didik dengan baik.

Pantas saja Alvian kecil tumbuh tanpa kehadiran orantuanya dan menjadi anak yang sangat tidak ingin memiliki hubungan dengan siapa pun kecuali kakeknya. Menjadi anak yang keras dan tegas. Karena menurutnya tak ada satupun hubungan yang benar-benar dilandasi dengan ketulusan. Semua hubungan pasti menginginkan timbal balik dan banyak kepalsuan dan kebohongan di dalamnya.

"akhirnya kamu membawa wanita yang kamu cintai kemari Alvian." kata sang ibu lembut. Tetapi mengandung sarkasme.

"Iya.." jawab Alvian singkat.

Setelah selesai beramah-tamah, orangtua Alvian memilih untuk segera kembali keatas dan meninggalkan kami berdua. Suasana itu kembali lagi. Suasana yang membuat jantung Adira kembali berdegup cepat. Adira takut Alvian akan mendengar degup jantung Adira.

"saya ingin membicarakan rencana kita lebih lanjut." kata Alvian sembari memandangi langit malam yang mulai di terangi oleh bintang-bintang kecil. Kami duduk di tepi taman yang terletak tak jauh dari ruang utama. Taman yang terletak di belakang rumah ini terlihat begitu indah. Banyaknya bunga-bunga yang tumbuh yang menghiasi menambah keindahan taman ini. Suasana tenang membuat siapa pun orang yang duduk dan singgah akan merasa rileks.

"dua minggu lagi aku akan menemui orangtuamu tetapi kali ini secara resmi bersama kedua orangtuaku." katanya santai sembari memejamkan mata menikmati angin sepoi-sepoi.

Adira tekejut mendengar pernyataan Alvian. Apaaaaa.. Dua minggu, Apa tidak terlalu cepat. Aku saja masih harus menyelesaikan keadaan hati dan perasaanku yang masih belum menentu. Pikir Adira. "Apakah harus secepat itu?" tanya Adira takut-takut.

Reaksi Alvian membuat Adira semakin bingung. "apakah kamu keberatan?" tanya Alvian.

Adira tak tahu harus bagaiamana menjawab atas pertanyaan Alvian. Jika aku jawab dengan jujur apakah Alvian akan marah padaku? pikir Adira. Sejujurnya Adira belum siap atau bahkan tidak siap untuk menikah dengan Alvian. Menurutnya kejadian ini sungguh membuatnya bingung.

"apakah saya punyai pilihan untuk itu?" Alvian terkejut mendengar sarkasme yang keluar dari suara Adira.

"tidak." jawab Alvian tanpa ragu.

"mengapa bertanya, jika bapak tidak memberikan saya pilihan."

"kau benar. Aku tidak memberikanmu pilihan."


*********

maaf ya agak lama updatenya... 

bingung mau updatenya, takut banyak typo..

ditunggu vote dan commentnya...

Terimakasih...

I Steel Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang