Hai, aku mau jelasin dikit ya. Ini cerita, aku rombak habis-habisan. Jadi kalau misal kalian baca kolom komentar, bakal jauh berbeda deh tanggapan reader tahun sebelumnya sama tahun sekarang kalau dikaitkan sama ceritanya. Hehehe. Hanya itu aja sih. Thank you, ya uda nyempatin diri buat baca cerita aku. Happy reading! 🎉
---
El berjalan menuruni tangga rumahnya menuju dapur.
"Pagi, ma."
"Pagi."
"Papa, hari ini bisa antarin Gio ke sekolah?" Tanya Gio pelan.
"Habiskan saja sarapanmu," ujar Mamanya El sebelum El menjawab permintaan anaknya.
Ketika umurnya masih 21 tahun, El menikah dengan Nessa hanya karna alasan cinta. Mereka tidak berpikir panjang. Tidak ada persetujuan dari mamanya. Sedangkan papanya El sudah meninggal ketika ia kecil.
Sedangkan Nessa? Dirinya hanya seorang yatim piatu membuat El semakin merasa ingin menjaga Nessa dengan cara menikahinya. Empat tahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Giodarno.
Dulu, mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. Sebelum, Nessa mengkhianati dirinya. Entah mengapa, sudah empat tahun berlalu, setiap kali melihat wajah Gio, El selalu teringat akan Nessa dan pengkhianatannya membuat ia kerap kali mengabaikan anaknya.
El menatap wajah datar anaknya. Anak ini jarang meminta dan jarang menunjukkan ekspresinya. Dan tadi, ia belum menjawab permintaan anaknya.
El mengelus pelan rambut Gio yang seketika membuat gerakan tangan Gio yang sedang memegang sendok terhenti.
"Nanti papa antarin. Hari ini kamu pulang jam berapa? Nanti papa jemput."
Gio menatap El dengan berbinar-binar. Wajah datar itu bergantikan dengan ekspresi yang lebih hidup.
"Gio pulang jam 2, pa."
"Oke. Nanti kita jalan-jalan ke mal, ya. Kita belum pernah punya waktu lelaki, bukan?" Ujar El sambil terkekeh.
"Tidak bisa. Setelah pulang sekolah, dia ada les piano," ujar mama El tegas.
"Gio, cepat habiskan sarapanmu. Atau kamu akan telat ke sekolah!"
Ucapan tegas dari neneknya bagaikan sebuah perintah yang harus ia laksanakan.
El merasa kecewa akan dirinya. Kemana saja dia selama ini? Terlalu mementingkan kesedihannya sendiri sampai melupakan tumbuh kembang anaknya. Dia bahkan tidak mengetahui les tambahan apa saja yang diikuti anaknya, dan lainnya.
Mereka menghabiskan sarapan dalam diam. Ketika selesai, Gio menyalim neneknya.
"Ini bekalnya, tuan muda," ujar Bik Asih.
"Terima kasih, bik," balasnya dan kemudian menyalim Bik Asih.
"Ayo, kita berangkat," ajak El.
Di dalam mobil, El berdehem pelan.
"Jangan kecewa, bagaimana dengan hari minggu? Kita seharian penuh bermain?"
"Tidak bisa, pa. Hari minggu aku ada latihan karate."
El menghela nafas, "di sepanjang perjalanan menuju sekolahmu ini, bisa Gio ceritakan, kegiatan apa saja setiap minggu yang Gio lakukan?"
Gio terdiam. Sama sekali tidak menanggapi ucapan papanya. Ketika sampai di sekolah, Gio menyalim papanya.
"Pa, aku tau, papa sibuk, tidak bisa mengurus diriku selama ini. Tetapi, aku merasa sedih ketika papa tidak mengetahui hal apa saja yang sudah aku lakukan selama setahun terakhir ini."
Setelah kalimat terpanjang yang pernah Gio ucapkan, ia pergi meninggalkan El yang terpaku.
---
El menenggelamkan dirinya diantara tumpukan kertas. Hari ini pekerjaannya sangat menumpuk. Ponselnya berderit. Seketika El mengangkatnya.
"Ada apa?" Tanya tanpa basa-basi.
"Begini, tuan, saya sudah mendapatkan informasi mengenai wanita yang tuan minta waktu itu."
Ucapan disebrang sana membuat El tersenyum skeptis.
"Baik."
"Saya sudah mengirimkan semua data maupun aktivitas yang ia lakukan selama beberapa tahun belakangan ini lewat email."
"Baik, kau akan mendapatkan bayaran yang pantas."
"Terima kasih, tuan."
El menutup sambungan ponselnya dan kemudian tersenyum. Dia akan segera menyelesaikan pekerjaannya dan kemudian, ia akan menyelidiki segala hal tentang Nessa.
---
"Kalian berdua sudah gila!"
Citra menatapnya dengan tangan bersedikap didada dan alis kanan yang terangkat.
"Berani sekali kamu membentak, mama!" Ujar mama Citra.
"Ma, selama ini aku mendiamkan perbuatan kalian. Toh, pada akhirnya kalian gagal. Tetapi, kalian ingin kembali membuat rencana baru lagi. Apakah itu tidak keterlaluan?"
"Lebih baik kamu keluar saja, Shella! Mama tidak ingin melihat wajahmu," ucap mamanya datar.
"Kak, kalau lo gak mau ngedukung kami. Mending lo pergi aja. Tanpa atau dengan adanya lo, sama aja. Gak ada bedanya. Toh, dulu lo gak berbuat banyak. Lo cuman memberitahu kita tentang keadaan mereka lewat suami lo itu, Calvin."
Shella mendesah pelan, "kalian tidak akan berhasil. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu untuk menjadi milik kita. Camkan itu dikepala kalian. Aku pergi dulu."
Ketika Shella ingin menyalim mamanya, uluran tangannya tidak diterima. Shella mendesah pelan dan kemudian pergi dari rumah itu.
"Aku berharap kalian segera sadar dan menghentikan perbuatan kalian. Karna, aku tidak ingin kalian kenapa-kenapa dan menyesal kelak," gumamnya pelan.
TBC.