Part. 2 - Super Horan

812 44 3
                                    

Alya’s POV

Aku masih diam saat Niall sudah memacu mobilnya menjauhi pelataran parkir gedung Escourt. Setengah hatiku masih mengumpat pada Alma yang dengan tega menelantarkanku, tapi sebagiannya lagi sangat berterima kasih karena mungkin satu jam ke depan aku akan terus bersama pria blonde ini.

"Alya? Kau melamun?" Tanyanya. Masih fokus dengan jalan beraspal di depannya.

"Aku hanya tak habis pikir dengan Alma."

Ia tertawa kecil, "Aku malah berterima kasih padanya."

"Oh ya, karena apa?"

"Karena berkat dia akhirnya kamu bisa duduk di samping aku sekarang."

Aku terdiam. Benar-benar tak bisa membalas kalimat yang keluar seenaknya dari bibir tipis Niall. Tahukah dia bahwa sekarang aku mengalihkan pandanganku ke jendela, agar ia tak melihat betapa idiotnya wajahku disertai dengan rona merah sialan ini. Setelah beberapa lama, aku berbalik. Dan mendapati Niall tersenyum, walaupun matanya tak beranjak untuk menatapku. Tapi aku tau sekarang ia tersenyum.

“Alya. Lagi-lagi kau menatapku seperti itu. Ada yang salah dengan wajahku?”

Ia menatapku hangat, dan menyungging senyum kecurigaan yang membuatku ingin menarik pipi imutnya. Aku sedikit syok, karena tak menyadari bahwa kami sedang berada di lampu merah dan Niall jelas-jelas bisa menyadari aku terus memandanginya.

“Umm.. Tidak.. Aku hanya.. Lapar.” Jawabku. Dan sedetik kemudian aku merutuki diriku sendiri akan hal bodoh itu.

“Oh, kebetulan! Aku juga sedang lapar sekarang.”

“Kau memang selalu lapar, Nialler.” Kataku sambil menyenggol sikunya.

“Aw, sweet. Ternyata kau mengingat setiap hal kecil dalam diriku ya?” Ia bertanya dengan nada menggoda. Aku langsung merasa pipiku langsung memanas. Damn you, cheek. You get as hot as a summer sun.

“Tentu saja. Aku kan sahabatmu.”

Ia hanya mengangguk. Aku tak tau pasti, tapi aku dapat merasa Niall kecewa dengan kalimat terakhirku tadi. Apakah ia menganggapku bukan sahabat, melainkan teman?

Niall’s POV

“Tentu saja. Aku kan sahabatmu.”

Kalimat itu terngiang begitu saja selama perjalanan lima menit menuju Bel Mondo. Dan selama itu pula hanya suara radio yang mampu mengurangi sedikit keheningan yang mulai menyesakkan dadaku. Entahlah, aku hanya merasa kecewa dengan kalimat terakhir yang Alya lontarkan tadi.

Alright. Kita sudah sampai.” Sahutku. Alya seakan terkesiap. Dapat kutebak selama kami diam tadi dia cuma melamun. Mungkin memikirkan kakaknya?

“Turunlah duluan, Niall. Aku harus merapikan rambutku.” Katanya sambil mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya. Namun, aku enggan untuk beranjak. Alya bodoh, dengan rambut berantakan seperti itupun dia tetap saja sempurna di mataku.

“Niall, aku menyuruhmu keluar. Bukan memandangku seakan aku adalah menu makan malammu.” Hardiknya diselingi tawa. Aku tersenyum, lalu melipat kedua tanganku di setir mobil dan menatapnya dalam posisi kepala di atas tangan.

“Lanjutkan saja pekerjaanmu. Tapi asal kau tau dengan rambut singamu tadi kau sudah sangat cantik.”

Ia tampak tak menerima pujianku, namun perubahan raut wajahnya menjadi tampak lebih ceria. Oh ayolah, mana ada wanita di Midwest yang tahan dengan pujian maut dariku? Tapi jujur, apa yang kukatakan tadi berasal dari lubuk hati terdalamku.

Unsaid WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang