Part. 20 - I've Missed That

435 31 3
                                    

Alya's POV

"Setelah semua yang dilakukannya padamu, kau masih mencintai Niall, ya?"

Aku memandang kaget pada Lillian yang tampak tenang setelah melontarkan pertanyaan membunuh itu. Maksudku, hey, aku bahkan tidak tahu-menahu apakah perasaan yang ada di hatiku masih bisa disebut cinta. Karena kurasa aku merindukannya, dan hal pertama yang akan kulakukan adalah menampar wajahnya. I'm not joking okay. Aku kesal dia mencampakkanku begitu saja; yah, walaupun dia pernah beberapa kali meminta maaf bahkan sampai mendatangi rumahku.

"Itu berarti kau yang egois." Lillian menjawab tanggapanku sambil duduk bersila di atas permadani hijau yang berada di tengah-tengah ruang musik.

"Lho, kok jadi aku yang kena?" Tanyaku sengit.

"He was trying to clear everything up and apologize, but all you ever did was ignore him, didn't you?" Ia melipat kedua tangannya sambil menatapku dengan sebelah alis yang terangkat.

"Kenapa kau jadi mendadak membela dia sih?!"

"It's not like that!" Mata biru Lillian memelototiku, "Aku hanya ingin kau sadar bahwa tindakanmu terhadap Niall itu salah. Lihatlah dia, he regrets it so much."

Lillian benar. Aku sudah cukup egois tak memberikan Niall kesempatan untuk menjelaskan semuanya; ada hubungan apa dia dengan gadis itu? Apakah kedekatan mereka yang merubah sikap Niall terhadapku? Atau malah...

Atau malah aku yang tidak sengaja sudah menjauhkan diri darinya?

"God damn, Miss Rhodes!" Mister Franklin menyerukan namaku, membuat lamunanku berhenti dan sekarang aku dihadiahi sebuah tatapan mematikan dari guru yang sangat mengerikan ketika ia sedang marah. Dan menghadapi Mister Franklin yang sedang berkecamuk bukanlah ide yang bagus, "Come. Here. NOW!"

Aku sontak berdiri, lalu berjalan menuju keatas sebuah panggung kecil tempat biasa sang dirigen memandu paduan suara. Mister Franklin menatapku tajam seraya mengetuk-ngetukkan stik drum ke pinggir piano yang berada di depannya. Glek, aku menelan ludah, I am having a fucking big problem.

"Sudah menghitung berapa kali aku memanggi namamu, huh?" Mampus, ia pasti akan menyudutkanku dengan argumen-argumen panasnya itu. Dan tak ada satu orang pun yang bisa mengalahkannya.

"N-no, Mister.." Aku menundukkan kepalaku.

Ia mengehela napas. Kurasa aku sudah cukup keterlaluan karena helaan nafasnya berarti I'm-so-done-with-your-behavior. Duh, aku ingin bolos dengan tenang untuk konserku tapi aku malah menambah masalah di sini. Bisa-bisa surat izin tidak masuk sekolahku tidak mau ditandatangani oleh kepala sekolah.

"Ya sudahlah. Yang penting sepulang sekolah kau harus menemuiku di sini. Ujianmu akan dibedakan dengan yang lain."

"BENARKAH?!"

Mister Franklin mengangguk sambil tersenyum sementara aku sibuk ber-yes-yes ria untuk mengekspresikan kegembiraanku, tentu saja. Aku masih punya 2 jam pelajaran history international dan aku tak perlu mempermalukan diriku sendiri di depan Niall karena aku gagal di ujian hari ini.

Wow, kenapa aku harus peduli pada pandangan Niall terhadapku?

Setelah Mister Franklin mempersilahkanku untuk kembali, tak sengaja aku melintasi tempat Niall duduk.  Aku bisa memastikan bahwa saat ini matanya sedang lurus menatapku. Apa yang harus kulakukan? Pura-pura tak melihat, atau malah melihatnya lalu tersenyum manis padanya?

Akhirnya, aku melakukan pilihan keduaku.

Senyumku hanya sebatas sebuah senyum tipis, senyum yang tidak bersahabat sama sekali. Namun, ekspresi yang diberikan Niall padaku sungguh tak dapat kupercaya. Matanya memancarkan ekspresi lega, begitu juga lengkungan bibirnya saat membalas punyaku. Ia seakan-akan telah berhasil meluruhkan tembok raksasa China. Lagi-lagi, Lillian benar. Jika keegoisan terus menyelimuti hatinya, maka ia takkan pernah melihat hal indah seperti ini lagi.

Unsaid WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang