Part. 3 - The Offer & Troublemaker

733 45 0
                                    

Alya’s POV

“Rhodes kecil! Bangun atau kau kutinggal!” Suara nyaring Alma terdengar dari luar kamarku. Aku segera mengangkat badanku, memposisikannya agar terduduk di tempat tidur. Memoriku masih menyimpan adegan beberapa hari yang lalu itu, saat Niall mendekapku dan aku menangis di dalam pelukannya. Aku belum pernah merasa senyaman itu saat dipeluk oleh pria; terkecuali dad. Pelukannya seakan melindungiku. Yeah, aku tau dia memang selalu melindungiku.

“ALYA! MANDI SEGERA!” Gadis berambut cokelat itu dengan kejam melemparkan handuk tepat mengenai wajahku.

“Kenapa sih kau selalu menghancurkan pagiku?!” Hardikku. Ia tak menjawab, malah asyik menyiapkan sarapan sekaligus bersenandung kecil ketika aku berjalan melewatinya.

Rhodes besar memang menyebalkan. Tapi, aku tau aku takkan bisa apa-apa di rumah ini tanpa dia. Dia seperti orangtuaku saat dad bertugas di luar negeri; seperti sekarang. Dan akibat insiden tak terduga waktu itu, ia menjadi lebih protektif dari biasanya. Dan aku mulai menyukai itu.

“Kau akan pergi bersama Zayn?” Tanyaku sambil menarik kursi di meja makan. Ia memandangku sekilas, menggelengkan kepalanya dan kembali fokus dengan sarapannya, “Kenapa?”

“Kalau aku pergi bersamanya, siapa yang akan mengantar jemputmu nona muda?” Ia melemparkanku pertanyaan. Aduh, dia terlihat manis sekali saat peduli padaku.

“Oh ya ampun, tumben sekali kau bersikap manis padaku. Kau kesambet jin apa hari ini?”

“Sudah diamlah. Masih mending aku peduli padamu.” Katanya cuek, lalu mendorong sebuah piring dengan dua helai roti di atasnya. Lalu berikutnya menyodorkan toples berisi selai coklat favoritku. Aku memandangnya lekat-lekat. Pasti dia seperti ini karena dad meneleponnya.

“Dad meneleponku tadi malam.” Katanya seakan memperjelas pemikiranku. Aku menatapnya, masih menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir pink itu, “Dia bilang dia punya firasat kau kenapa-napa, dan berterima kasihlah padaku karena aku tak menceritakan kejadian itu.”

“Baiklah, terima kasih.” Ucapku sambil menelan rotiku bulat-buat dan mendapatkan tertawa mengejek darinya. Aku hampir melemparnya dengan piring kosong saat tiba-tiba bel kami berbunyi.

“Siapa itu? Zayn?”

“Sudah kubilang Zayn tidak menjemputku, bodoh. Sudah buka sana pintunya.”

Aku mencibirnya dan berjalan gontai ke arah pintu depan. Dan kurasa kalian tau siapa yang sekarang berada di depan pintu.

Salah. Jawabannya pak pos.

“Ini ada kiriman sepaket bunga untuk nona..” Ia menyipitkan kedua matanya, “Rhodes kecil?”

“Ups, sorry, that was my nickname.” Kataku sambil menahan malu. Aku menerima sepaket bunga lili itu dengan terheran dan membawanya masuk.

“APA ITU?!” Alma memekik, saat ia sudah siap dengan tas tentengnya dan kunci mobil di genggaman tangan sebelah kanan.

“Ini bunga, bodoh.” Jawabku cuek.

“Iya aku tau. Maksudku, siapa yang pagi-pagi gini memberikanmu bunga? Al, you better feel special.” Aku menatapnya dengan tatapan tidak tahu, melemparkan bunga itu ke sofa dan menyambar tasku.

“Hei, sweetheart!” Aku mendongakkan kepalaku, dan dapat kulihat si hiperaktif Lillian menyapaku dari luar kelas. Aku melambai, dan segera memberi aba-aba untuk menyuruhnya duduk di sampingku.

“Ada apa? Kau tampak bingung sayang.” Ia mengikuti gayaku; menopang daguku dengan kedua tangan dan menatap lurus ke arah papan tulis.

“Niall.” Jawabku tanpa bergerak sedikitpun.

Unsaid WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang