Part. 27 - The Bitterest Truth

228 24 1
                                    

Sebuah kaca besar berbingkai perak merefleksikan seorang gadis dengan sebuah croptee putih yang melekat di tubuhnya. Berbagai macam ekspresi diperlihatkan secara nyata olehnya. Lelah. Senang. Sedih. Marah. Kecewa. Bingung. Ya, seharusnya satu-satunya emosi yang dirasakannya hanyalah sebuah euforia kebahagiaan. Bagaimana tidak, ia sudah berhasil menyelenggarakan sebuah konser perdana nan megahnya dengan sukses. Pujian datang dari berbagai kalangan, namun sorot mata kesedihan itu masih tak kunjung hilang.

Ia kembali pada aktifitasnya, membersihkan sisa-sisa noda yang masih menempel pada permukaan wajah halusnya. Matanya sudah sangat lelah. Ditambah lagi alunan musik klasik karya Beethoven yang sudah tak asing lagi di telinga gadis itu. Tinggal menghapus maskara, dan urusannya selesai di ruangan ini.

Tiba-tiba, pintu terbuka pelan.

Si gadis menghentikan pergerakan tangannya. Menatap was-was pada refleksi pintu yang tepat berada di belakangnya. Mungkinkah itu seseorang yang selalu memenuhi benaknya? Tak perlu menunggu lama, yang membuka pintu segera menampakkan wujudnya.

Bukan, dia bukan pria yang ingin ia temui.

Dia adalah orang yang paling dihindarinya.

"Alya, aku perlu bicara padamu dan meluruskan semuanya."

Alya mencoba mengabaikan gadis itu dan mempercepat aktivitasnya sehingga ia dapat keluar dengan segera. Dan ketika ia hendak bangkit, gadis itu mencengkeram pergelangan tangan kirinya kencang.

"Lepaskan aku." Perintah Alya sarkastis.

"Kau menyukai Niall?"

Apa-apaan pertanyaan gadis ini, batin Alya. "Aku menyukainya atau tidak, apa urusannya denganmu?"

"Jawab saja." Ia mempererat cengkeramannya, membuat Alya meringis kesakitan. "Sejak kapan kau menyukai Niall?"

"Itu bukan urusanmu!" Alya mempertegas ucapannya, "Sekarang lepaskan aku atau aku akan berteriak!"

Ancaman Alya tak membuat gadis ini gentar. Ia menaikkan sudut bibirnya, mempertontonkan sebuah senyuman jahat dan ia meraba kantong belakangnya.

"Berteriaklah, Alya.. jika kau ingin pita suaramu kupotong saat ini juga.." Dengan senyuman yang lebih kejam, ia mensejajarkan pisau dengan telapak tangan Alya yang berada di genggamannya.

"Ah, jadi ini jenis tangan yang selalu diimpikan Niall setiap malam...." Ia berkata lirih. Alya menelan ludah. Gadis ini benar-benar sudah tidak waras!

"Ap-apa maksudmu?" Tanya Alya gugup.

"Kau.. ketakutan? Kau kira pahlawanmu itu akan menolongmu? Sayang, kau harus tau... kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.."

Gadis itu menyapukan permukaan pisau ke telapak tangan Alya. Permukaannya yang dingin membuat Alya merinding hebat. Kenapa di saat seperti ini tidak ada orang yang berusaha menerobos masuk kesini?!

"Demi Tuhan! Kau sudah gila."

"Ya! Hahahahahaha." Gadis itu tertawa sangat lebar membuat Alya makin berdiri ketakutan. Cengkeraman gadis itu makin menguat memberikan tanda berwarna merah di sana. "Aku benar-benar tergila-gila oleh lelakimu itu! Oh, I supposed to call him mine!"

Ia tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir deras seakan ia baru saja memutar habis keran air matanya, "Aku hampir mendapatkan lelakimu andai saja ia tak menemukan surat keterangan dokter itu. HIV sialan!" Suaranya bergetar karena sesenggukan. Alya masih menyaksikan pergantian ekspresinya dengan ketakutan yang menjadi-jadi.

Dan sepersekian detik setelahnya, matanya tak lagi memancarkan kesedihan melainkan sebuah ancaman bagi Alya. Mata hitam itu seakan menusuk ulu hatinya. Menebar setetes racun di nadinya. Membuat kaki-kaki jenjangnya mulai goyah.

Unsaid WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang