Part. 21- Another Worse Day

440 24 2
                                    

Setelah menerima sebuah pesan singkat lima menit lalu, Alma langsung mengebut menyusuri jalanan kota yang tampak padat. Ia tak peduli sudah berapa banyak jumlah lampu merah yang dilanggarnya. Ia menulikan telinganya dari bunyi klakson orang-orang yang tampak gusar melihat tingkahnya di jalanan. Hatinya beku, masih beruntung ia sanggup untuk menyetir. Ia nyaris pingsan lima menit yang lalu karena pesan itu bukanlah berisi sesuatu yang menyenangkan.

Ia sampai di tempat itu tepat saat bunyi gemuruh terdengar dari langit. Kilatan-kilatan petir bagaikan penyambut kedatangannya ke restoran itu. Tanpa pikir panjang, Alma langsung masuk ke restoran itu.

Matanya menyapu ke seluruh ruangan. Ia dapat melihat Alya dan Lillian duduk di pojok sebelah kanan. Mereka menatap Alma, lalu Alya menunjuk ke sebuah bangku di sudut lainnya yang diisi oleh seorang pria dan wanita. Walaupun posisi duduknya membelakangi pintu masuk, Alma sudah mengetahui siapa yang sedang berduaan di kursi itu.

"Zayn?"

Tangis Alma pecah saat mendapati jari-jari mereka yang sedang bertautan dengan erat. Yang dipanggil segera sadar, lalu melepaskan genggaman itu secara sepihak dan menatap Alma dengan mimik muka bersalah. Namun sayang, air mata Alma menghalangi pandangannya untuk melihat raut wajah lelaki tampan itu. Lelaki yang dulu sangat disayanginya.

"Ap-apa-apaan ini?" Alma berusaha mengotrol emosinya agar ia tak meledak.

"Alma, darling, I can explain this. I-"

"Enough." Bibir Alma bergetar, "Kukira kau berbeda dari semua lelaki yang kukenal. Tapi, ternyata kalian sama saja. Go swallow all your bullshit, asshole."

"Alma, I'm so sorry. Kau salah paham, kami-"

"Kami apa, hah?! Kurasa kalau aku tak datang kesini kau sudah akan bercumbu mesra dengan gadis bodoh ini kan?!" Alma memelototi gadis yang tertunduk di samping Zayn dengan mata memerah, "We-are-done."

Alma segera berlari meninggalkan meja yang terletak di sudut itu. Hatinya bahkan bisa disamakan dengan gelas kaca yang dijatuhkan; pecah dan hancur berkeping-keping. Alma tau kegelisahannya selama ini akan berujung pada hubungannya dengan Zayn yang bahkan hampir genap sebelas bulan, tapi ia tak pernah menyangka pria sialan itu akan bermain dengan that-bitch yang dulu merupakan saingan terberatnya dalam segala hal.

Geneva Lane.

***

Alma's POV

Tetesan hujan tak kunjung berhenti membahasi permukaan kaca jendelaku. Hujan masih belum reda ketika aku meninggalkan restoran fast food itu dengan hati terluka. Dan seakan kompak dengan hujan, air mataku terus mengalir walaupun aku sudah berhenti sesenggukan. Aku terlihat sangat kacau, padahal besok adalah hari teristimewa bagiku juga Alya. Aku bahkan tak tau apakah aku masih sanggup untuk tidur. Rasanya aku masih bermimpi; aku masih berada di mimpi burukku sampai-sampai rasanya ini sungguh nyata. Entahlah, terkadang kebenaran bisa membunuhmu.

Pintu kamarku diketuk tiga kali, "Alma?"

"Alma, kau dimana? Kamarmu gelap sekali. Kau lupa menghidupkan lampu, ya?"

Kurasa sebentar lagi aku lupa caranya bernafas.

Detik berikutnya, kamarku sudah bermandikan cahaya lampu. Namun aku belum mampu mengalihkan pandanganku dari jendela. Sungguh, rasanya kekuatanku sudah menguap entah kemana. Semangatku memudar, bahkan mungkin aku sudah mati rasa sekarang.

"Maafkan aku..." Alya sudah duduk bersimpuh di sampingku.

"Kau tak melakukan kesalahan apapun."

"Tapi, aku yang mengadukan soal Zayn dan Geneva kepadamu. Maaf ya."

Aku menghela napas panjang, "Kebenaran memang pahit, tapi tak sepahit kebohongan yang suatu saat malah akan membunuhku." Aku berusaha untuk tersenyum, namun aku malah terlihat makin terlihat menyedihkan, "Sudahlah, aku baik-baik saja."

Unsaid WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang