♂Part 8 : Itu?

11.2K 1K 37
                                    

Aku diam terpaku mendengar permintaan Jeje yang menurutku bermasalah. Dia Bipolar disorder?

Bagaimana bisa orang yang selalu ketus dan jual mahal di depanku meminta hal itu  dengan wajah merona dan suara malu-malu? Ini dunia nyata kan? Apa matahari baru saja terbit dari barat?

Mustahil. Aku mencium bau mencurigakan disini.

"Jej, kamu kenapa?" hanya itu yang bisa aku ucapkan. Padahal ada miliar pertanyaan yang ingin aku muntahkan padanya. Salah satunya, mengapa dia aneh sekali akhir-akhir ini.

Oke, silahkan memanggilku dungu karena slowrespon di situasi genting seperti sekarang.

"Gue juga nggak tau." Cicitnya pelan.

"Kamu aneh, apa yang kamu inginkan? Beberapa menit yang lalu kamu merasa kasihan pada saya, menit berikutnya kamu marah-marah, menit berikutnya lagi kamu minta itu. Kamu sadar nggak, saya bingung. Saya nggak ngerti sama jalan pikiranmu." Balasku lemah, merasa kalah.

"Gausah alay deh. Kalo penasaran makanya lo ke sini, cepet mendekat." Jawab Jeje enteng. Meski masih bingung dengan situasi yang terjadi, aku tetap merentangkan tanganku ke arah Jeje. Dia terkekeh geli melihatku, mungkin dia merasa senang dengan kepatuhanku. Sekali lagi aku sadar, sopir strip pesuruh strip pembantu harus patuh dengan semua perintah majikan, semustahil dan seaneh apapun itu –kalau tidak mau dipecat!

Jeje balas merentangkan tangannya ke arahku. Jadilah kami seperti Twinki Winky Dipsi Lala Pooo...berpelukaaan.

Childish kan? Kuno, jelas.

"Ayo Jej, badanmu maju juga dong. Kan kamu yang minta dipeluk. Saya sudah maju daritadi." Pintaku sambil menaikkan alis sebelah, heran. Bagaimana tidak, dari tadi aku sudah menggeser badanku ke depan -arah Jeje- tapi si Jeje malah memundurkan badannya menjauhiku. Apa yang lebih lucu dari adegan ini? Serasa mau memperkosa gadis desa lugu yang takut sama om-om pedofil.

Tanpa bersusah payah menuruti permintaanku, Jeje dengan seenak udelnya mengataiku 'pak tua'. "Lo emang berisik, lemot, telmi,  gampang banget dikerjain ya. Sini peluk gue kalo bisa. Kejar, Pak tua. Ha-ha."

Sudah kuduga. Firasatku selalu benar. Dia hanya berniat jahil. Aku tarik kembali perkataanku tentang 'dia ganteng'. Karena nyatanya, Jeje tetaplah Jeje. Menyebalkan, iblis, jahil, suka membuat orang lain kesal, dan terakhir...bipolar. Pokoknya tidak ada yang baik di Jeje.

Tentu saja aku tersinggung karena diremehkkan. Siapa juga yang mau dipanggil 'Pak Tua' diusia 25 tahunmu?! Tidak ada kan? Sama!

Ya sudahlah, kepalang basah. Saatnya melakukan plan BD. Balas Dendam.

Aku menggodaJeje dengan cara yang sedikit nyentrik, memanggilnya 'sayang'. Hal yang dianggap kurang sopan dan tidak etis jika dilakukan pada majikan. Tapi aku memang sedang ingin membuat Jeje marah. Supaya dia tidak menggangguku lagi dengan kata-kata ambigu-nya. "Jeje sayang. Sini, nak. Om sudah siap." Ucapku sambil memonyongkan bibir. Sejujurnya aku sedikit geli dengan ucapanku. I mean, aku masih normal. Menggoda laki-laki adalah pengalaman paling pahit yang akan aku kenang selama sisa hidupku.

 "Sinting lo!—"dengus Jeje kesal.

"—Hei,ngapain lo megang pipi gue?! Lo kurang ajar banget sih! Jijik tau nggak!!"Jerit Jeje histeris saat aku mencubit pipinya tanpa permisi. Tidak memperdulikan tatapan Jeje yang -kemungkinan- bisa membunuh nyamuk, aku menarik paksa tubuh Jeje ke dalam pelukanku. Kucengkeram pinggangnya kuat, mencoba membatasi ruang gerak Jeje untuk kabur. Tentu saja Jeje memberontak sambil berteriak tidak jelas. Namun, perbedaan proporsi tubuh kami membuat usaha pemberontakan Jeje sia-sia. Pada akhirnya, aku lah sang pemenang. Ha-ha.

Sugar ChauffeurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang