♂Part 15 : Ancaman #2

7.4K 717 25
                                    

Hari ini aku bekerja seperti biasa. Mengantar dan menjemput Jeje ke sekolah. Mencoba melupakan kejadian kemarin. Bukan hal menyenangkan memang, namun aku tetap mempertahankan profesionalitasku.

Jeje juga sepertinya tak repot-repot meminta maaf. Memangnya siapa juga yang mengharapkan maaf darinya?

Bullshit.

Jadilah perang dingin diantara kami. Tidak saling bicara. Pokoknya berlagak seperti nggak kenal satu sama lain. Everything has gone. Nggak ada yang sama lagi. Ah sudahlah, caraku menjelaskan sudah mirip orang yang mau mengakhiri hidup aja. Huh..

Setelah mengantar Jeje, aku tidak langsung kembali. Aku memutar balik mobil ke jalur yang berlawanan arah dengan biasanya. Aku ingin ke rumah Wendy, menengok Tito.

Tito memang anakku, tapi Wendy tidak pernah memaksaku untuk kembali padanya. Baginya, menjadi single parent adalah julukan terkeren untuk seorang wanita. Dia tidak pernah peduli cemooh atau kasak-kusuk orang lain, karena (menurutnya lagi) kehormatan seseorang tergantung dari penilaian diri sendiri. Biarkan anjing menggonggong, kafilah berlalu. Penilaian orang lain memang penting, tapi bukan yang terpenting. Lagipula, dia sudah tau aku punya hubungan spesial dengan Jeje.

Wendy memang hebat.

Aku sampai di rumah sederhana Wendy dengan selamat. Syukurlah. Mengingat jalannya berkelok-kelok dan aku akan menabrak becak tadi.

"Hai, Steve. Feeling tired? Don't you?" Tanya Wendy sambil berlari ke arahku. Aku keluar dari mobil kemudian membuka lebar tanganku dan menarik tubuhnya ke pelukanku. Pelukan persahabatan.

"I think so, it's too far from city. Where's Tito? I don't see him around here." Jawabku kemudian.

Wendy melepas pelukanku. "Dia tidur. Kamu kenapa? Suaramu udah mirip kakek-kakek impoten yang depresi tau nggak." Wendy menatapku curiga.

Aku mengerjap pelan, sejelas itukah kesedihanku? Sampai orang lain menyadarinya dengan mudah. Oke, back to the normal. "Nggak apa-apa, kamu aja yang terlalu sensitif. Eh, aku nggak diajak masuk nih? Capek tau." Balasku mengalihkan pmbicaraan.

Wendy tertawa, kemudian mengajakku masuk. Rumah Wendy kecil namun asri. Halamannya yang luas cocok sekali untuk tempat bermain anak-anak. Tempat ini juga bersih. Seperti tidak ada debu menempel dimanapun. Sekedar informasi, Wendy hanya tinggal berdua dengan Tito.

Wendy berhenti di sebuah kamar mungil berpintu penuh gambar kartun. "Ini kamar Tito, kamu masuk aja ya. Aku mau belanja sebentar." Ucap Wendy sambil tersenyum. Aku menawarkan untuk mengantarnya, namun Wendy menolak dengan halus dan mengucapkan terima kasih.

Setelah kepergian Wendy, aku beranjak masuk ke kamar Tito. Kamar ini memang didesain khusus untuk anak-anak. Dengan cat dinding hijau pastel dan poster Superhero yang betebaran di dalamnya. Tanpa sadar aku tersenyum, menyadari anakku akan bahagia tanpa sosok Ayah yang selalu siaga menemaninya. Wendy memerankan 2 orangtua sekaligus secara apik. Satu hal yang makin membuatku mengaguminya.

Kutarik kursi kecil plastik di pojok ruangan ke samping tempat tidur Tito. Dia sedang tidur pulas. Karena tak ada yang diajak bicara, aku sibuk memandangi Tito. Malaikatku ini memang ganteng. Matanya, bibirnya, dan garis wajahnya seperti milikku. Sedangkan hidungnya campuran antara milikku dengan Wendy. Secara kesulurahan, dia lebih condong mirip ke aku daripada Wendy.

Namun, melihat wajah damainya saat tidur mengingatkanku kembali pada Jeje. Polos dan innocent. Aku termenung mengingatnya.

Dia sudah memilih Malisa, kumohon berhentilah memikirkannya. Batinku.

Sugar ChauffeurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang