♂Part 18 : Frontal

7.4K 752 36
                                    

"Apa? Lo masih mikir Jeje hidup sampai sekarang?" Seolah bisa membaca isi hati, Dimas bertanya seakan bilang 'lo gila?'.

Jantungku langsung turun ke kaki. Tidak ya? Jeje sudah mati? Jadi surat kematian Jeje yang dikirimkan ke apartemenku di Australia dulu memang benar kan?

Lagi-lagi aku tak menjawab. Kesedihan dan rasa kehilangan yang sudah kukubur rapat-rapat, menguap sedikit demi sedikit. Rasa frustasiku naik ke otak. Lalu, apa maksudnya ini? Jeje pesan hotelnya sebelum mati? Wasiat?

Oh, betapa baiknya. Mencoba menebus kesalahan karena sudah meninggalkanku pergi?! Batinku sinis. Ya, aku marah pada Jeje yang tidak bisa bertahan. Aku marah pada Jeje yang memilih meninggalkanku selamanya. Aku marah pada Jeje yang sudah mencintaiku dan menggoreskan rasa cintanya padaku!

Sebelum aku bersumpah tidak akan pernah menikah dan mencintai orang lain dalam hidupku, Dimas melanjutkan ucapannya. "Ternyata lo nggak bodoh juga."

Aku menaikkan alis sebelas heran, urung mengucapkan kalimat sakral itu. "Maksudnya?"

"Gue yang ngirim surat kematian Jeje ke apartemen lo atas perintah Pak Johan. Tapi sebenarnya, Jeje belum mati. Eits, nggak usah melotot ke gue! Lo harusnya berterimakasih karena gue mau ngasih tau lo. Coba kalau nggak? Lo bakal hidup sendirian selamanya, dibayangi rasa bersalah dan sayang lo buat Jeje. Bener nggak?"

Kenapa kisahku sedramatis ini? Astaga.

“Terus?” Desakku. “Dimana Jeje sekarang? Tujuanmu melakukan ini semua untuk apa?”

“Jeje pengen ketemu lo, goblok! Lo tuh ya, otak dipakai dikit, nyet. Nyesel gue udah muji lo tadi.” Dengus Dimas. Nggak kaget, dia juga terkenal dengan mulut busuknya. Kalau bicara suka blak-blakan, tidak peduli lawan bicaranya sakit hati atau tidak.

Tapi telingaku sudah cukup tuli untuk mendengar umpatannya. Selain karena sudah terbiasa, segala sesuatu tentang Jeje jelas lebih menarik dari apapun. “Dimana Jeje?” ulangku.

“Rumah,” balas Dimas. “Tenang aja, gue bakal bawa lo kesana kalau reservasi hotel ini udah habis.”

Tenang, tenang, udelmu!

Aku sudah cukup puas terkungkung di tahun-tahun gelap dengan keyakinan Jeje sudah mati. Dan sekarang? Setelah memberitahu kebenarannya, Dimas masih sempat-sempatnya mengajakku menikmati hotel ini. Oh, bullshit. Aku ingin ketemu Jeje secepatnya. Peduli setan dengan hotel limited edition atau apalah!

Aku menunjukkan tatapan nyalang pada Dimas, yang dibalas dengan hembusan napas berat. “Oke, oke, lo emang nggak ngerti penderitaan orang lain yang baru kena jetlag,” kicaunya. Jetlag tai. Please, ini Singapura. Jarak Singapura dengan Indonesia hanya sejauh upil. Sok-sokan kena jetlag, mabuk kendaraan iya!

Menangkap nada persetujuan dari Dimas (meskipun jelas sangat terpaksa), aku mengambil barang bawaanku yang belum berubah sejak kemarin.

Hari itu pula, aku terbang ke rumah Jeje menggunakan helicopter pribadi. Dan kalian tau apa? Dimas yang jadi pilotnya. Selama perjalanan, aku merasa umurku di ujung tanduk.

***

Helikopter sialan itu akhirnya landing di pelataran bandara domestik. Setelah mengkritik cara terbang Dimas yang amatiran, kami masuk ke salah satu mobil SUV putih yang sudah stand by di halaman depan bandara.

Perjalanan ke rumah Jeje memakan waktu sekitar 2 jam. Sepanjang perjalanan aku tidak pernah menutup mata barang sedetikpun. Aku ingin menikmati indahnya kota ini lagi. Banyak yang sudah berubah. Mulai dari pertokoan yang menjamur di sepanjang jalan Kota, perumahan yang semakin padat, dan aktifitas penduduknya yang kelihatan semakin ‘sibuk’.

Sugar ChauffeurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang