Dua

1.2K 44 1
                                    

The most beautiful things in the world are not seen not touched. They are felt with heart.
(Helen Keller)

Esok paginya Aninda baru tahu arti senyuman kedua orangtuanya kemarin. Honda Jazz telah terparkir anggun di depan rumahnya. Pemilik mobil tersebut sedang ngobrol dengan Ibu Aninda.

"Lho! Ngapain Kak Yovi jemput aku?" Teriak Aninda histeris.

Ibu Aninda langsung membulatkan kedua bola matanya.

"Ninda, jangan teriak-teriak gitu, kasihan Yovi"

"Nggak papa, Bu. Aninda kalau ngomong emang gitu. Yuk berangkat, ntar telat lho," kata Yovi sopan.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Aninda merasa tak enak hati. Ia terus berpikir, ini pasti akal-akalan kedua orangtuanya.

Aninda anak bungsu. Jelas dirinyalah yang selalu jadi objek keisengan orang rumah. Kedua kakaknya bekerja di Jakarta, jadi untuk saat ini ia seperti anak tunggal. Orangtuanya pengusaha batik tradisional dengan pendapatan tak seberapa sehingga mereka terbiasa hidup sederhana. Kedatangan Yovi dengan mobil mewah tentu saja membuat girang orangtuanya. Apalagi mereka memang baru kali itu kedatangan teman cowok Aninda yang seramah Yovi.

"Kenapa diem? Kirain aku kamu susah diem," Yovi membuyarkan kebisuan Aninda.

"Eh, gak papa," jawab Aninda singkat.

"Gak perlu terlalu sopan kok ngomong sama aku. Kemarin kamu berani bentak-bentak," goda Yovi, mengingatkan Aninda pada kejadian salah paham kemarin.

"Anggap aja aku teman sebayamu. Lagian aku risih ngomong sama orang yang terlalu sopan kayak kamu," imbuh Yovi semakin meledek.

"Jadi gak papa nih manggilnya aku-kamu?" Tanya Aninda lugu.

"Yaela... nyante aja, lagi," senyum Yovi mengembang sempurna. Dan saat Aninda melihat senyum itu, desiran aneh merayapi dadanya.

Terakhir Aninda merasakan desiran aneh seperti ini ketika ia masih SD, persisnya setiap kali menatap Umar. Mungkin terdengar ajaib, tapi cinta pertamanya adalah musuh bebuyutannya sendiri. Umar preman di SD-nya, gemar membuat keributan dan mengganggu anak-anak lemah. Salah satunya Ricko. Aninda selalu menolong Ricko yang dikeroyok Umar dan teman-temannya. Sejak itu Aninda menganggap Umar sebagai musuh abadinya, begitupun sebaliknya.

Desiran aneh itu bermula saat Aninda pulang dari rumah Yasmin. Saat itu Aninda kelas Lima SD, itu berarti sudah lima tahun dirinya berperang dengan Umar. Hujan deras mengguyur perjalanan pulang Aninda, tapi untung saja kedua orangtuanya telah membekalinya dengan payung kecil warna pelangi. Aninda bersenandung pelan untuk menahan rasa takut karena derasnya hujan. Dari kejauhan ia melihat seorang anak laki-laki berjalan di depannya, sempoyongan tanpa pelindung hujan. Aninda berlari penasaran dan menjejeri laki-laki kecil yang ternyata umar. Merasa iba melihat Umar yang sepertinya sedang ada masalah, ia memayunginya. Mata Umar sayu, ada kesepian disitu.

"Umar, kamu kenapa?" Tanya Aninda pelan, ada sedikit kecemasan dalam suaranya.

"Aninda, jangan bengong terus dong!" Seruan Yovi membuyarkan lamunan Aninda.

"Apa sih yang ada di pikiranmu?"

"Lagi mikirin PR bahasa Inggris nih." Aninda bohong.

LolipopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang