Fier melipat tangannya di depan dada dan bersandar di salah satu tiang koridor rumah sakit. Matanya yang awas tak pernah lepas dari seseorang tak jauh darinya. Sedang bicara dengan seorang anak kecil yang duduk di kursi roda. Seorang anak kecil yang memakai penutup kepala. Wajah anak itu pucat, tapi berbinar bahagia saat wanita di depannya bicara padanya. Entah bercerita tentang apa.
Anak itu menunjuk ke atas. Ke langit, tersenyum padanya dan wanita di hadapannya menggeleng sambil menepuk lengan anak itu. Fier ikut menengadah ke atas. Menatap langit biru yang bersih. Metafor untuk sebuah tempat bernama surga, ataupun untuk dzat bernama Tuhan.
Wanita itu sanggup tersenyum lembut. sanggup membuat raut wajah menenangkan tanpa terlihat sedih dengan pembicaraan yang Fier pikir sensitif. Apa yang akan wanita itu katakan pada anak kecil tentang keberadaan Tuhan dan juga surga? Apa yang akan wanita itu katakan tentang kematian? Tentang penyerahan diri?
Fier tak ingin mendengar. Karena dia mempercayai wanita itu mampu membuat hati setakut apapun menjadi aman. Karena wanita itu adalah ibunya.
Tak lama, seorang perawat mendekat. Bicara sebentar pada Fiandra dan perawat itu membawa anak berkursi roda itu masuk ke dalam. Sedangkan Fiandra tetap di sana, memandang kepergian anak berskursi roda itu dengan tatapan sedih yang tak disembunyikan.
"Bunda," Fiandra tersentak. Buru-buru dia menetralkan raut wajahnya dan berbalik. Senyumnya indah merekah, seakan tak ada kesedihan yang singgah walau sebentar tadi.
"Hey, sayang. Kenapa keluar kamar?" tanya Fiandra cemas.
Fier tersenyum masam. "Bosan."
Fiandra tersenyum mendengar jawaban Fier. Senyum itu membuat Fier menghela nafas. kesedihan yang sempat terlihat tadi tak bisa hilang begitu saja dari kepala Fier dan itu mengganggunya. Dia memilih untuk duduk di kursi taman. Fiandra kembali tersenyum menyadari Fier mau menemaninya sebentar di sana. Fiandra ikut duduk di samping putranya.
"Tadi siapa?" lirih Fier ragu.
Fiandra menoleh. Fier masih menatap ke depan hingga Fiandra hanya bisa menatap rahang kokoh Fier. Ekspresi itu datar seakan pertanyaan yang diajukan tadi sambil lalu. Namun saat Fier bertanya, itu berarti Fier tertarik dengan anak itu.
"Namanya Viola. Cantik ya namanya." bisik Fiandra sangat lirih. "Kalau dia tumbuh besar, dia pasti akan secantik Ann nantinya." Fiandra tersenyum menatap kejauhan. Nada suaranya membuat Fier menoleh. "Sayang sekali anak secantik itu harus berjuang antara hidup dan mati sekarang. Perjuangan yang bahkan ornag dewasapun belum tentu menang." Air mata Fiandra tanpa sadar mengalir. Melihat anak sekecil itu menahan kesakitan bukanlah hal yang mudah untuknya. Bahkan untuk siapapun.
Satu helaan nafas terdengar dan saat itulah Fiandra menghapus habis air matanya. Punggungnya yang lelah dia sandarkan di punggung kursi. Lalu matanya kembali menatap kejauhan.
Baru kali ini Fier melihat secara langsung Fiandra terlibat secara emosi pada pasiennya. Dan Fier punya firasat bahwa ini bukanlah yang pertama.
"Apakah sudah tidak ada harapan lagi?" tanya Fier.
Senyum Fiandra mengembang tulus. "Hanya harapan yang kami punya. Karena segala daya upaya sudah kami lakukan sebisanya. Tapi nyatanya, leukimia terlalu ganas untuk dapat dimatikan. Terlebih ini sudah stadium lanjut.
Umur memang hanya tuhan yang tahu, tapi menurut medis, kami hanya menunggu waktu saja."
Fier kembali menatap kejauhan. Melihat fenomena lain dari kehidupannya. Di taman rumah sakit ini, beberapa pasien berjalan-jalan baik dengan kakinya sendiri, atau dengan tongkat bahkan dengan kursi roda dan di dampingi oleh perawat atau dokter mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
He (Fier)
RomanceFier ... laki-laki itu memang terlihat begitu sempurna. Tanpa cela. Ketampanannya, pembawaannya, ketenangnnya. Auranya begitu mendominasi hingga siapapun terintimidasi. Ya, laki-laki ini laki-laki paling sempurna yang pernah dia lihat. Tapi lepas d...