"Abang tidak akan bicara, kan?!" tebak Rafan sedikit sinis.Tatapan matanya mulai menyipit pada Fier, sang kakak. Geram, getir, gemas, mengumpul jadi satu. Rafan ingin membantu. Namun apa daya kalau yng dia bantu seperti tak ingin dibantu sama sekali. Padahal, Fier tidak dalam posisi punya banyak pilihan sekarang ini.
Hanya jika Fier bicara maka masalah yang membelit tidak akan terlalu rumit. Namun seperti biasa, Fier memilih diam. Dia tak mengatakan apapun. Bahkan untuk membela diri.
Govin, pengacara keluarga yang selalu setia mendampingi hanya menghela nafas panjang. Sedangkan Rafan lagi-lagi berusaha sekuat tenaga menahan emosi.
"Fan," Govin menepuk bahu Rafan. "Lebih baik kamu keluar dulu. Om ingin bicara dengan Abangmu sebentar." Ucapnya minta pengertian.
Rafan jelas menolak mentah-mentah. Namun melihat raut wajah Fier yang seakan setuju dengan keputusan Govin. Memang Govin adalah pengacaranya di sini. Rafan hanya pegawai magang di firma Govin dan masih belum mendapatkan ijin praktek sebagai pengacara. Walaupun ingin terjun langsung, namun dia tak bisa apa-apa. Menyerah, akhirnya dia setuju meninggalkan ruangan Govin begitu saja.
Suara berdebum keras pintu yang terbanting membuat Fier membuang wajahnya ke jendela. Kabut kelabu polusi udara melayang dan begitu mengganggu. Namun dia lebih menikmati pemandnagan itu dari pada fokus pada pembicaraan ini.
Lebih dari sepuluh menit Govin memberikan kesempatan pada Fier untuk menikmati keheningan. Membiarkannya terdiam lama seakan memberikannya waktu untuk emikirkan ulang apa yang akan mereka bicarakan kali ini.
Saat dirasa cukup, Govin mengajukan pertanyaan yang Rafan lemparkan tadi.
"Ada yang ingin kamu sampaikan sebelum kita berangkat memenuhi panggilan polisi?" tanyanya tenang, tak memaksa. Namun urgent-nya situasi membuat ketenangan itu cenderung menuntut. Fier harus mengatakan sesuatu atau dia tak punya apa-apa untuk membela Fier sebagai pengacara.
"Ada." kata Fier dengan nada tenang.
Govin mengangkat alis, penasaran. Karena informasi apapun pasti akan sangat berharga.
Mata Fier menatapnya setenang biasa. Ketenangan yang sangat sulit di lacak permukaannya. Nmun ketenngan itulah yang membuat anak ini kehilangan emosinya yang paling dalam.
"Lilian ... dia tidak bersalah."
Hanya itu. satu kalimat yang membuat Govin frustasi karena kecewa. Sebelum mengkhawatirkan orang lain, tidak bisakah Fier sadar bahwa posisinya sama mengkhawatirkannya dnegan Lilian?
Govin sudah membuka mulutnya untuk bicara lagi namun Fier kembali menatapnya hingga mulut Govin seakan membeku. "Kalau Om bisa memastikan itu, aku berjanji akan bicara."
Janji itu membekukan mulut Govin hingga mengatup rapat. Govin tidak menyukai situasi ini. Karena dia hanya bisa melindungi salah satu dari mereka. Tibak bisa keduanya.
---
Angin berhembus lembut dari sela jendela saat Lilian memandang bayangannya sendiri di dalam cermin. Wajah itu entah berbentuk seperti apa. tirus, kuyu, pucat, dan terlihat begitu letih. Hanya ada sedikit kecantikan yang masih tersisa di sana setelah badai itu datang menyapu seluruh jiwa yang dia punya.
Mata Lilian menatap bayangan itu tanpa ekspresi. Begitu dingin dan juga beku. Matanya sembab. Dnegan lingkaran merah yag tak bisa hilang setelah dibasuh berkali-kali. Bayangan kemerahan itu masih berada di bawah matanya, membayangi setiap penyesalan yang tak akan pernah bisa ditebus sebanyak apapun air mata itu tumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
He (Fier)
RomanceFier ... laki-laki itu memang terlihat begitu sempurna. Tanpa cela. Ketampanannya, pembawaannya, ketenangnnya. Auranya begitu mendominasi hingga siapapun terintimidasi. Ya, laki-laki ini laki-laki paling sempurna yang pernah dia lihat. Tapi lepas d...