Bagian 18 - Sebuah Pilihan

5.7K 802 144
                                    

Ini penjelasan terakhir tentang masa2 SMA waktu fier ngamuk itu. Udah selesai.
Jadi, kita bakal mulai konfliknya dr sini ya. Happy reading

————————-
Livi terkejut dapat melihat Fier lagi. Laki-laki itu persis seperti apa yang dia bayangkan selama ini.

Fier masih tetap sama seperti dulu, tidak berubah sama sekali. Hangat, lembut, perhatian. Meskipun Livi menyakitinya berkali-kali Fier tetap sebaik itu padanya. Di saat Livi pikir Fier masih membencinya, dia tidak menyangka Fier justru membalas ucapan kerinduannya.

Hatinya membuncah bahagia. Senyumnya mengembang sejak tadi meskipun air matanya mengalir terus menerus. Bertemu Fier seperti mimpi. Bisa menyentuhnya, memeluknya, merupakan mimpi yang lebih menakjubkan lagi.

"Sedang apa di sini?" tanya Fier setelah melepaskan pelukan.

Livi hanya menggeleng pelan. "Menengok temanku yang sakit." jawab Livi.

Sejak tadi, Fier menatap lurus matanya. Dan ketika Livi menghindari tatapannya saat menjawab, Fier langsung tahu bahwa wanita ini berbohong.

"Kau sendiri? Sedang apa di sini?" tanya Livi kemudian.

"Menjemput ibuku."

"Ibumu sakit?" tanya Livi.

"Ibuku dokter."

"Oh." Livi mengerjap, langsung mengerti. Dia memegang perutnya sekilas lalu tersenyum pada Fier. "Ya sudah, cepat jemput. Ibumu pasti sudah menunggu."

Fier mengangguk. "Baiklah, aku duluan."

"Eh," Livi mencengkeram jas Fier hingga laki-laki itu urung melangkah. Dia menatap Livi lagi. Wanita itu seperti ragu bertanya.

"Ada apa?"

Livi menggigit bibirnya hingga akhirnya bicara. "Bisa kita bertemu lagi?" tanya Livi. "Ada yang ingin aku katakan padamu."

Fier langsung mengeluarkan ponselnya, lalu menyerahkannya kepada Livi. "Berikan nomormu."

Livi tersenyum saat memasukkan nomor telponnya. Lalu memberikannya kepada Fier. "Ini."

Fier segera menyimpan nomor Livi. "Nanti malam aku akan menelponmu." ucap Fier. Livi mengangguk senang.

Fier menatap sebentar Livi di hadapannya. Livi tahu laki-laki itu sedang mencari tahu lebih banyak tentangnya. Berharap bisa membaca pikirannya. Namun Livi terlalu mengenal Fier hingga dia tersenyum saja, membiarkan Fier tahu pikirannya sekarang. Bahwa betapa bahagianya dia bisa bertemu Fier lagi.

Setelah tidak menemukan apa-apa, baru setelah itu Fier berbalik, berjalan menjauh meninggalkan Livi. Karena Fiandra sudah menunggunya. Livi sendiri tidak langsung berjalan. Dia terus memandangi punggung laki-laki itu hingga Fier benar-benar menghilang di belokan.

Senyum Livi lalu memudar. Air matanya yang menggenang meluber. Wajahnya benar-benar sendu. Sebanyak apapun senyum yang dia berikan pada Fier, dia hanya ingin laki-laki itu percaya dirinya baik-baik saja. Meskipun tidak begitu kenyataannya.

Dia meringis pelan merasakan rasa sakit di perutnya yang sudah tidak tertahankan. Dia bahkan harus bersandar di tembok dengan tangan yang terus menekan perutnya, berharap rasa sakitnya berkurang.

"Kau tidak apa-apa?" Livi mendongak. Lilian yang memang sedari tadi menonton reuni kecil mereka, mendekat saat melihat Livi yang kesakitan. Livi tidak mengenal Lilian. Hanya saja jas putih yang Lilian pakai membuatnya tenang. Bahwa sudah ada seorang dokter di sampingnya sekarang.

"Perut saya sakit sekali." bisiknya.

"Saya anter ke bagian penyakit dalam." tawar Lilian. Saat Lilian memegangi lengan, berniat menuntun, Livi menghentikannya, seperti menolak. Lilian bingung. Dia menoleh dan mendapati Livi menggeleng lemah.

He (Fier)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang