Tubuhku terbaring di ranjang rumah sakit, pria berumur pertengahan 40, sedang memeriksa keadaan kakiku, yang aku berani bertaruh bahwa keadaannya....
"Sangat buruk, kemungkinan kamu akan memakai gips lebih lama lagi... Bagaimana bisa keadaannya seperti ini, nona Rachel? Kenapa kamu tidak berhati-hati?"
Ya, itu yang akan kubilang tadi, bahwa keadaannya pasti akan sangat buruk, karena aku tak pernah merawat atau menjaga kakiku yang terluka ini. Kulihat wajah dokter itu yang penuh dengan raut heran dan khawatir? Ya mungkin dia khawatir tentang keadaan kakiku yang sangat malang.
Saat dokter itu menyentuh bagian lebam di kakiku, ia mengernyit kesakitan seperti ikut merasakan sakit pada luka itu. Padahal, aku sendiri yang terluka tak merasakan apapun. Bagiku luka fisik, hal yang terlalu biasa, dan hal yang dapat ku atasi dengan mudah. Keterbiasaan yang membuatku kuat seperti ini.
"Kita akan melakukan check-up dua bulan lagi, dan saya harap, keadaan kaki kamu akan jauh lebih baik daripada yang sekarang." Dokter itu berbicara dengan nada ramah penuh pengertian, tiada maksud untuk melukai atau memarahi.
Sejak tadi dia saja yang berbicara, aku tak ada sama sekali niat untuk membuka mulutku barang mengucapkan satu kata pun. Bukan karena malas, tapi aku tak tahu apa yang harus ku ucapkan pada dokter itu. Diam lebih baik, tak perlu memaksakan diri untuk bicara di saat diriku memang tak mau bicara.
Dengan bantuan tongkat, aku melangkah keluar dari ruangan periksa dokter itu. Namun, alangkah terkejutnya aku, saat membuka pintu, sudah ada tubuh menjulang mirik seorang pria di sana. Terlihat bahwa ia ingin masuk keruangan ini. Mataku bertemu pandang dengan mata coklat tuanya yang dalam, dia terlihat kaget sama sepertiku. Tersadar, aku langsung menggeser tubuhku, agar dia bisa lewat. Pria itu terdiam masih menatapku, aku merutuk dalam hati, kenapa dia tidak lewat saja seakan-akan tak melihatku? Kenapa dia malah menatapku seperti itu sih? Dasar bodoh!
"Apa lo tuli sekarang? Jawab gua!" ucap Eric meninggikan suaranya, membuatku tersadar dari lamunanku.
Ya, pria itu, dia adalah Eric. Ya Tuhan, kenapa kau mempertemukanku dengannya di saat seperti ini? Dan kenapa harus? Kenapa harus bertemu? Apa tidak ada rumah sakit lain di kota ini?
"Eh? Lo nanya apa emang?" Tanyaku, rupanya dia menanyakan sesuatu tadi, tapi aku sama sekali tak mendengarnya.
"Dia memeriksakan kondisinya Eric. Apa kamu mengenalnya?" dan Dokter itulah yang mewakiliku untuk menjawab pertanyaan yang bahkan tak ku ketahui apa itu.
"Dia pegawai di restaurant Paman, Dad!" Jawab Eric sambil menoleh ke arah Dokter tadi.
What?! Dad?! Jadi dokter ini adalah ayah Eric? Astaga, kemarin bosku adalah pamannya, dan sekarang dokterku adalah ayahnya? Apa ini? Mengapa dunia ini sempit sekali sih? Aku langsung menengok ke arah dokter itu yang sedang tersenyum ke arah Eric. Bodoh kau Rachel, sudah jelas-jelas wajah mereka mirip sekali, dan kau tak menyadarinya?
"Oh, lalu ada apa kamu kemari lagi? Tentang Yuri temanmu itu lagi?" Tanya Dokter atau kita sekarang sebut saja dia itu ayahnya Eric. Ku dengar ada helaan nafas di sana. Ya, aku juga saat mendengar kata Yuri, ingin menghela nafas, menghela nafas lelah.
"Iya, Dad, aku ingin memastikan keadaannya dengan benar" Eric menjawab ayahnya, dan terdengar sekali kekhawatiran yang begitu kental di ucapannya itu.
Muak, aku keluar dengan cepat dari ruangan itu, sebelum aku mendengar nama Yuri di sebut-sebut lagi.
Apa kalian tidak bisa lihat? Aku, aku yang terluka parah, sedangkan Yuri? Dia hanya mendapat luka ringan! Tapi kalian semua mengkhawatirkannya secara berlebihan seperti dia akan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep in Black
Teen FictionKenapa aku di perlakukan berbeda? Ya benar, aku memang bukan sang gadis cantik yang berhati baik dan disenangi oleh semua orang. Tapi, apakah dunia ini hanya membutuhkan orang-orang seperti itu? Tidak, bukan? Cerita akan manarik, apabila disana ada...