@AyrinaSynister
Thanks for all your support ma baby bala-bala.... mblaem mblaemm!!! Semoga kamu tetap support aku! MWAHH!! (KETJUP MANJA 3X) 😘😘
~~~~~
"Apa yang kalian lakuin?!!" Tanya Juan tajam.
Tidak jangan Juan.
=<>=
Rasanya seluruh tubuhku bergetar, mungkin sebentar lagi aku akan pingsan jika saja tangan Eric tidak sedang mencengkram bahuku. Dapat kurasakan cengkraman yang menguat di bahuku. Mataku beralih memandang Eric. Eric masih terpaku di posisinya.
"J-Juan.. Ini--" Perkataanku terpotong begitu Eric menggengam tanganku mengisyaratkanku untuk tak angkat bicara.
Aku pun menurut, pandanganku jatuh ke arah tangan besar Eric yang menggenggam tanganku. Hangat.
"Juan, apa yang lo liat udah cukup jelas. Dan gua minta maaf, kalo ini lo nilai sebagai pengkhianatan." jelas Eric tanpa ada nada gentar di suaranya. Dia terlihat begitu yakin, yang sangat berbeda denganku yang merasa gugup dan takut.
Juan melangkah perlahan, menipiskan jarak ke arah kami. Rasanya aku ingin lari saja, namun tangan Eric masih menggenggam tanganku dengan lembut seakan menjagaku. Tak pernah aku merasa begitu aman di hidupku selain saat ini. Ku tegakkan tubuhku, dan mengarahkan pandanganku ke arah Juan dengan yakin.
Juan tertawa kecil begitu sampai di hadapan kami berdua. Namun, sedetik kemudian,
BUGH..
Tinjuan kuat tangan Juan menyapa pipi kiri Eric. Membuat Eric yang sedang lengah limbung kebelakang dan terjatuh. Aku begitu kaget hingga tanganku refleks menutup mulutku mencegah keluarnya pekikkan. Tapi Eric, dia hanya terkekeh di posisinya, seringaian terlukis di wajahnya.
"Temuin gua pulang sekolah." Kata-kata Juan begitu datar tanpa intonasi, tapi mimik wajahnya begitu mengerikan, membuatku bahkan bergidik.
Juan pergi begitu saja, meninggalkan kami berdua disana. Aku menghapiri Eric, menatap pipi kirinya yang memerah dan mulai membengkak.
Ingin sekali aku bertanya 'Lo gapapa?' tapi itu pertanyaan yang terlalu bodoh melihat bahwa jelas-jelas pukulan itu menyakitkan.
"Ayo ke UKS, gue anter." akhirnya aku memutuskan mengajaknya ke UKS untuk mengobati lebamnya.
"Gua gapapa, ini biasa. Gak usah khawatir" Eric tersenyum tipis menyiratkan bahwa dia baik-baik saja.
"Apanya yang gapapa? Pipi lo bonyok gitu, bentar lagi membiru!" ketusku padanya.
Eric terkekeh. "Sok khawatir lo ah, gua kan cowok, gini doang mah bisa di tahan. Udah lo balik ke kelas aja, udah telat dari tadi."
"Batu lo emang! Ga ah, mending sekalian ga masuk daripada harus kena omel karena telat."
"Bilang aja emang mau berduaan ama gua kan?" goda Eric kemudian ia tertawa jahil.
"Kepedean lo! Udah ah, gue ambil obat lebam aja ke UKS, lo jangan kemana-mana, awas aja!" Dalihku menutupi semburat merah di pipiku, dan dengan cepat pergi meninggalkannya ke UKS.
=<>=
Obat lebam itu sudah berada di tanganku, namun orang yang ingin ku berikan obat ini justru sudah tidak ada. Mungkin dia sudah balik ke kelasnya. Tanganku terjatuh pasrah, menghela nafas berat. Pria itu memang batu.
Akupun berbalik, berniat untuk kembali ke kelas atau mungkin kemana saja aku bisa pergi sekarang. Yang jelas bukan tempat memusingkan, karena aku ingin merilekskan pikiranku, dan juga mewaraskan pikiranku dari apa yang baru saja terjadi. Mungkin sejak tadi akal sehatku kacau balau, hingga aku tak bisa memikirkan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep in Black
Teen FictionKenapa aku di perlakukan berbeda? Ya benar, aku memang bukan sang gadis cantik yang berhati baik dan disenangi oleh semua orang. Tapi, apakah dunia ini hanya membutuhkan orang-orang seperti itu? Tidak, bukan? Cerita akan manarik, apabila disana ada...