Ninth Chapter

15.2K 868 111
                                    

Ale, Denny dan Jordan.

***

"Go, gue enggak bisa ngasih saran." Koh Daniel mengangkat bahunya lemas, "Karena gue enggak ngerti juga setan-setanan kayak gini. Mana elo juga masih ragu kan sama eksistensi Tuhan?"

Gue diam, mencerna apa yang baru saja dikatakan koh Daniel. Gue memang masih ragu dengan keberadaan Tuhan yang menurut gue enggak begitu berfungsi. Kalau Tuhan memang ada, kenapa Israel dan Palestina masih saling gempur? Tidak bisakah Tuhan turun dan melerai mereka? Apa kabar Irak? Apa kabar manusia-manusia pembunuh berdarah dingin? Apa kabar manusia-manusia kelaparan di Afrika? Apa kabar gue sendiri yang homo? Sudahlah, gue lelah kalau harus berdebat tentang Tuhan.

"Ego gak takut sama setannya koh, serius. Lebih serem preman Pulogadung yang malak Ego kapan tahu itu. Yang Ego takutkan itu dia berkali-kali ngomong Denny harus mati. Itu yang bikin Ego kepikiran."

Gue ngomong jujur. Gue masih pura-pura tidak bisa melihat Felix, walaupun hantu itu beberapa kali mengajak gue untuk ngobrol. Siang tadi, saat Felix menyapa gue di rumah Denny, gue langsung pura-pura check handphone. Gue pura-pura tidak bisa melihat Felix. Dan setan sialan itu meneriakkan kata-kata, Denny mati, Denny mati, berkali-kali di kuping gue. Perjuangan gue cukup berat, kalian tahu? Pura-pura budek padahal gue bisa mendengar suara Felix dengan sangat jelas. Pura-pura nggak melihat sosoknya padahal wujud kurusnya bisa gue lihat dengan gamblang.

.Koh Daniel terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya mulutnya terbuka lagi. Agak aneh karena biasanya koh Daniel selalu lugas dalam menyampaikan pendapatnya, "Kalau elo enggak nyaman, stay out of it. Kalau elo ngerasa Denny pantas buat elo pertahankan ya cari tahu aja itu maunya setan gimana." Koh Daniel memberhentikan mobilnya, tepat didepan gerbang, "Sampai sini aja ya Go? Gue males masuk, kemarin abis berantem ama bokap."

Gue mengangguk, "Makasih ya, koh."

"Anytime brother."

Gue keluar dari mobil, masuk melalui pagar kecil dan tersenyum kecil pada Parman, security rumah. Parman balas tersenyum kecil dan lanjut menikmati kopinya.

Seperti dugaan gue sebelumnya, Felix memang tidak muncul lagi semenjak gue meninggalkan rumah Denny sore tadi. Curhat dengan koh Daniel was fine, but I didn't got any solution. Well, mood gue langsung balik normal begitu berkumpul dengan koh Daniel dan keluarganya. Tapi begitu gue disini, di rumah ini, membuka pintu kamar gue, merebahkan diri diatas ranjang, somehow gue merasa kesepian.

Mama berubah, dia lebih tertarik berurusan dengan teman-teman kaya barunya ketimbang menanyakan apa kabar gue seharian ini. Apa saja yang sudah gue lakukan tadi di sekolah, bagaimana ujiannya, Mama sepertinya sudah tidak peduli.

Andrea sama saja, dia sibuk memuja-muja Jordan, sekarang. Gue mungkin juga berubah. Keluarga ini sudah terbagi menjadi dua kubu sebelum gue datang. Kubu keluarga koh Daniel dan kubu Ruli Dirga, dan entah kenapa, gue berada di kubunya koh Daniel untuk alasan yang gue sendiri nggak tahu. Sementara keluarga gue yang lain, memihak kubu Ruli.

Gue menarik nafas panjang.

Gue mengirim whatsapp ke koh Daniel, mengucapkan terima kasih sekali lagi. Dan koh Daniel membalasnya dengan mengirimkan foto dirinya sendiri yang sedang shirtless. Dengan pesan, 'moodbooster'.

Mau tidak mau bibir gue berkedut, tersenyum tipis.

Gue meletakkan iPhone gue keatas meja, menyalakan air conditioner, berjalan ke kamar mandi. Kamar mandi gue memang didalam kamar, namun terhubung dengan kamar satunya lagi, kamar milik Jordan. Kita berdua sharing kamar mandi dan closet yang sama.

PROBLEMATIC (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang