Thirteenth Chapter

12.8K 797 118
                                    

Sekali-kali fotonya Jordan lah ya.
***

Thirteenth Chapter.

"Abednego, Mama mau bicara sebentar, Nak." Gue menghembuskan nafas lelah dan memberi kode agar Denny lebih dulu menuju ke kelas. Sedangkan gue mengikuti mama yang sekarang duduk di kursi beton dibawah pohon beringin. Ini pohon katanya angker, banyak yang sudah melihat penampakkan disini. Anehnya, gue belum pernah lihat sama sekali lho.

Kecuali Felix, dia setan aneh memang.

"Bicara apa, Ma?"

"Kamu tahu hanya kamu harapan mama kan? Andrea kamu tahu sendiri nggak sepintar kamu. Lagipula sepertinya Papa kamu marah, Mama nggak bla bla bla. . ."

Gue semakin malas meladeni mama gue, sebagian kata-katanya gue dengar sambil lalu. "Intinya, Ma?" Potong gue cepat.

"Jauhi Jordan, demi Mama? Demi masa depan kamu, bisa? Kamu bisa janji sama Mama?"

Gue termenung sebentar. Seharusnya nggak sulit, gue dan Jordan sudah tidak tinggal bersama. Lagipula bukankah itu keinginan gue? Fokus mencintai Denny, dan mengubur perasaan gue untuk Jordan? Tapi, menjauhi Jordan? Nggak bisa melihat wajah jahatnya lagi, nggak bisa melihat binar jahil di matanya, entah kenapa kok terasa sangat berat.

"Abednego, kenapa diam? Kamu nggak mencintai Jordan, kan?"

Gue menggeleng, bingung. Dan untuk kali ini saja, gue bersyukur bel sekolah berbunyi. "Maaf Ma, Abe masuk kelas dulu."

Nyokap nggak bisa apa-apa untuk mencegah gue pergi. Ya memangnya dia mau ngapain juga?

Gue mencium tangan nyokap, sebelum akhirnya berjalan dengan gontai menuju kelas. Suasana kelas ramai, karena guru Matematika, yang seharusnya mengajar di jam pertama, belum datang.

"Untung lo nggak telat, Be." Timo menoleh kearah gue. Gue hanya membalasnya dengan senyum samar.

Yang membuat gue terkejut bangku sebelah gue kosong. Tasnya Ale pun tidak ada. "Eh, Ale belum datang ya?" Tanya gue pada Elissa, perempuan yang duduk dibelakang gue.

"Sakit dia Be, tadi nyokapnya dateng nganterin surat."

Gue hanya ber ooooo panjang. Ale sakit? Sakit apa? Perasaan kemarin dia masih sehat-sehat saja. Iya sih, sakit bisa datang kapan saja. Aah, mungkin hanya masuk angin ringan.

Namun tetap saja, sepanjang pelajaran gue kepikiran sama Ale. Apalagi anak-anak sekelas lagi keki banget sama gue gara-gara kemarin gue langsung cabut, nggak ikut bersih-bersih dulu. Bahkan saat ada perkenalan anak baru saja, gue nggak begitu memperhatikan.

Pesan-pesan gue belum dibalas oleh Ale. Wa, line, bbm, wechat, belum ada yang di reply. Makin blingsatan kan gue khawatirnya. Ajakan Timo ke kantin saja gue abaikan. Padahal ini perubahan besar, Timo mau ngajak gue ke kantin walaupun ada Andini disampingnya. Biasanya kan Timo takut sama itu dedemit.

Gue mengirim pesan singkat ke Denny, menanyakan apakah dia jadi melihat anak-anak latihan basket. Denny menjawab lima menit berselang, dengan jawaban iya. Katanya hanya sebentar. Gue memanfaatkan situasi tersebut agar Denny tidak mengantar gue pulang.

Gue mau jenguk Ale!

Siapa tahu sakitnya parah, ya kan? Alot. Denny bersikeras tetap akan mengantar gue pulang. Dia bahkan rela membatalkan acara melihat anak-anak latihan basket kalau gue memang ingin pulang cepat. Gue memijat pelipis gue dengan tak sabar, ya Tuhan ini pacar gue kenapa protektif banget?

"Abednego, berapa jumlah korban perang Diponegoro?" Bu Endah, guru PKn gue tiba-tiba ngasih pertanyaan. Iya, gue memang tadi sibuk melamun, tapi memang ada materi perang Diponegoro di PKn? Setahu gue itu ada di dalam pelajaran Sejarah yang gue pelajari saat masih SMP.

PROBLEMATIC (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang