The Last Chapter

13.4K 827 357
                                    

The Last Chapter

Gambar diatas ada Abed paling gede

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gambar diatas ada Abed paling gede. Uki dan Daniel dibawah. Lalu Denny, Jordan dan Ale.
***

Hari ini tepat delapan minggu tiga hari semenjak Denny kecelakaan dan masuk rumah sakit. Delapan minggu, setelah Denny sadar dari koma. Tujuh minggu lebih dua hari saat Denny mengucapkan kata putus. Gue masih ingat betul sewaktu Denny dengan wajah kuyu, berbaring di ranjang kelas VIP rumah sakit dimana orang tuanya bekerja, menatap gue, mengharap pengertian dan kemakluman gue, atas keputusannya. Dia minta break.

Alasannya simple, Denny merasa bersalah, ingatannya tentang kematian Felix sudah pulih, benturan di kepalanya justru membuat memory yang sempat hilang dari otaknya itu kembali lagi. Denny tampak lemah saat itu. Kenyataan bahwa selama ini, dialah pembunuh Felix, bukan kanker. Melihat wajahnya yang kuyu, merasa bersalah, dan tanpa semangat itu, membuat gue mengiyakan kemauannya. Denny ingin berdamai dengan dirinya terlebih dahulu, memaafkan dirinya sendiri, sebelum kembali mencintai gue sepenuhnya. Sebelum fokus ke gue sepenuhnya. Gue pulang dengan lesu tanpa membantah waktu itu. Denny hanya minta break, belum putus. Lagipula, hati gue lebih hancur melihat kondisinya waktu itu, Denny seperti hilang akal.

Lalu dua hari kemudian, tujuh minggu yang lalu dari hari ini, gue mengkonfrontasinya, bahwa gue yakin Denny hanya mencari-cari alasan. Tak lain tak bukan karena gue melihat Denny dan Gani yang saling berpelukan. Gue cemburu! Gani adalah cinta pertama Denny, dan yang paling membuat gue benci adalah, Denny bisa meluapkan semua uneg-unegnya saat bersama Gani. Bahkan tentang Felix! Tuhan saja tahu, kalau gue lebih kenal Felix daripada Gani mengenal Felix. Lalu dipancing rasa cemburu dan serasa menjadi orang asing ditengah mereka berdua, dengan bodohnya gue malah sesumbar tentang Jordan, tentang ciumannya, tentang perasaannya. Dan emosi Denny tersulut sudah. Kita putus. Benar-benar putus. Denny marah, gue juga marah. Gue bahkan menampar pipi Denny sangat keras karena bilang gue egois, dia juga membanding-bandingkan gue dengan Gani.

Enam minggu yang lalu, gue menyesali keputusan gue. Mungkin jika waktu itu gue nggak emosi, nggak membabi buta melebih-lebihkan hubungan gue dengan Jordan, hubungan gue dan Denny bakal masih baik-baik saja. Denny hanya minta break, kan? Gue nggak tahu kenapa gue bisa semarah itu, memancing emosi Denny hingga ke batas limitnya. Tapi gue nggak mau minta maaf begitu saja. Denny juga salah. Alasan dia minta break terlalu klise. Kemesraannya dengan Gani menimbulkan curiga. Lalu, karena gue sesumbar tentang Jordan, dia juga berhak sesumbar tentang Gani? Banding-bandingin gue sama Gani? Wajar dong, jika itu menyulut amarah gue? Lalu gue nampar Denny hingga pipinya merah dan pergi begitu saja, I mean, come on? Nggak selamanya orang sabar itu sabar.

"Itu soto nggak bakal habis kalau hanya diaduk-aduk doang, Bed." Gue mendongak, menatap Ale yang sedang tersenyum manis kearah gue. "Atau mau gue bantu abisin?" Oh, balik ke hari ini. Gue lagi sarapan sama Ale di kantin sekolah.

Gue menggeser mangkok soto gue, tepat kehadapan Aldebaran. Dan Ale langsung memakannya tanpa malu-malu. Dia bahkan menggunakan sendok yang tadi gue pakai. Hari ini, adalah hari perpisahan anak-anak kelas tiga. Ada pensi yang diadakan sekolah untuk melepas kelulusan anak-anak senior tersebut.

PROBLEMATIC (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang