Eleventh Chapter

14K 800 152
                                    

Abednego Ganendra Dirga
***

Eleventh Chapter

Ale mengenakan kaos biru, celana jeans dan sepatu kets putih. Dengan jaket berwarna senada dengan kaosnya, hanya ditambah corak warna putih di kedua lengannya. Dan nama Aldebaran terbordir rapi di dada kirinya. Ale, terlihat menajkubkan.

Dan senyumnya langsung terkembang begitu tahu gue sudah berada didepan gerbang. Ale mengedikkan kepalanya, memberi kode agar gue segera mendudukan pantat gue diboncengan.

"Mau pocki?" Tawar gue ke Ale. Gue memang lagi ngemil itu tadi sembari menunggu Ale datang.

Ale membuka mulutnya, "Boleh. Suapin ya? Tangan gue kan dua-duanya pegang stang."

Dan karena gue menganggap bahwa Ale ini straight, gue dengan biasa saja menyuapinya satu batang pocki. Setelah dua batang pocki, gue naik ke boncengan. Kali ini Ale mengendarai motornya layaknya orang normal. Tanpa salib sana-sini. Oh, nyalip beberapa kali sih. Namun memang karena diperlukan. Bukan seperti kemarin dimana Ale sepertinya berpacu dengan sopir metromini ngejar setoran.

"Lagi dong Be." Ale menengok ke belakang sambil menaikkan kaca helmnya.

Gue bingung, "Apanya yang lagi?"

Ale menghadap kedepan sebentar, lalu menoleh kebelakang lagi, "Pockinya."

Ooh, kirain.

Gue segera menyuapi Ale pocki lagi. Sebatang, lalu Ale mulai ngoceh tentang latihan basketnya. Jadi selama liburan ini Ale sibuk latihan basket. Not bad ya, daripada kayak gue yang terjebak dengan drama cinta segitiga di daerah pegunungan yang dinginnya ampun-ampunan. Semoga dramanya enggak lanjut sampai Jakarta, walaupun gue nggak yakin.

Ale minta tambah lagi. Dua batang, dan Ale kini bercerita tentang janji umi dan abahnya yang akan membelikannya motor jika semester depan, Ale berhasil masuk lima besar. Hasil ujian kemarin Ale posisi sembilan lho. Untuk ukuran Ale, itu luar biasa. Eh, maksut gue sembilan . . . belas.

Enggak kerasa banget, tiba-tiba gue sama Ale sudah berada didepan gerbang rumah Timo. Bukan tiba-tiba juga sebenarnya, kan motornya melaju. Gue turun dari motor, lalu gue mengambil batu kerikil kecil disamping gerbang rumah Timo, lalu melemparnya ke Sadirman, satpam di rumahnya Timo. Sebenarnya ada bell gerbangnya, gue aja yang males mencet.

Pak Sadirman menoleh dan mukanya langsung sumringah ketika tahu yang melempar kerikil kearahnya tadi itu gue. "Eh, Mas Abednego! Udah jarang main kesini lagi sekarang. Mana tambah kasep."

"Ceritanya ntar aja, Pak Dir. Bukain gerbangnya gih!" Kata gue pelan.

Ale masih diatas motornya, dan menatap gue bingung. Gue hanya menganggukkan kepala. Seperti di sinetron-sinetron begitu, artinya semua akan baik-baik saja. Semoga saja, Ale ngerti bahasa anggukan kepala gue. Bukan mengira gue lagi pegel-pegel.

Gerbang langsung terbuka lebar satu menit kemudian. Gue masuk kedalam, Ale mengikuti gue dengan motornya.

"Timonya dimana, Pak Dir?"

"Didalem Mas, masuk saja."

Gue menunggu Ale memarkir motornya, setelahnya dengan cengengesan namun raut wajah bingung, Ale berjalan menghampiri gue. "Ini rumahnya Timo?" Gue mengangguk. "Dia orang kaya ya?" Gue mengangguk lagi. "Ngapain kita kesini, Be?" Kali ini gue mengedikkan bahu gue sambil membuka pintu depan.

Gue hapal banget sama rumah ini, seluk beluknya. Karena dulu, gue sering banget main kesini bareng Andini. Rumah ini aman, karena orang tua Timo jarang berada di rumah. Dan Timo adalah anak satu-satunya. Jadi, mau bikin keributan seperti apa juga, bakal enggak ada yang protes.

PROBLEMATIC (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang