[7] 0,5%

16K 1.5K 45
                                    

Satu minggu berlalu begitu saja setelah penyerahan bandana berpita itu resmi diperuntukkan pada Jungkook, dan di sinilah ia sekarang, berjalan sendirian di antara puluhan murid. Saling mendahului, menerobos ke luar dari gerbang sekolahan elit itu. Sedikit berdesakan memang.

Jungkook pov.

"Jungkookie! Tunggu..!"

Kedua kakiku hampir saja melangkah ke luar dari gerbang sekolah. Dengan tujuan yang jelas akan kembali ke rumah. Namun sebuah suara yang terdengar sedikit berteriak itu memaksaku menoleh.

Seperti dugaanku, Taehyung di sana, berlari cepat dengan kaki jenjangnya. Tak sampai 15 detik sudah berdiri tepat di hadapanku. Napasnya sedikit tersengal, tak ada peluh di pelipisnya. Seolah tidak ada arti larinya tadi.

"Ada apa, Hyung?" Tanyaku malas. Ku tatap datar matanya tanpa ada sedikit pun rasa ingin tahu. Entahlah, sejak tiga hari terakhir, sejak aku tahu bahwa dia sedang dekat dengan seorang gadis, ada sedikit rasa benci terhadap teman sebangkuku itu. Hanya sedikit! Dalam hati 0,5% berupa rasa benci dan 99,5% masih saja merasa suka padanya. Bodoh, bukan?

"Ayo jalan-jalan! Aku ingin cerita sesuatu padamu. Bagaimana kalau kita pergi ke Caffè?" Ajaknya seraya menempatkan tangannya di bahu kiriku. Merangkulku akrab tak seperti biasanya.

Biasanya? Tentu ia akan menggenggam tanganku hangat dan tak melepasnya sebelum sampai di tujuan. Namun sejak hari itu tidak lagi. Tidak pernah ada skinship melebihi rangkulan pada bahu. Tak ada lagi pelukan hangat di tubuhku, belaian lembut di kepalaku ataupun sekedar menautkan jemari kami. Semuanya hilang, lenyap dengan mudahnya. Dan aku tahu semua ini pasti akan terjadi. Salahkan hatiku kenapa harus berharap terlalu tinggi padanyam

"Kenapa wajahmu murung? Ayolah~ secangkir Latte pasti akan membuatmu lebih baik." Tae-hyung, eumm.. ralat. Jujur, aku mulai malas memanggilnya 'hyung'. Anggap saja nama Taehyung sudah mencakup embel-embel 'Hyung' itu.

Ditariknya tubuhku sedikit kuat. Wajah Tae-hyung terlihat sangat bersemangat. Aargh! Aku muak kau tahu?!

Tapi aku hanya bisa diam. Menepis kuat lengannya yang masih bertengger di bahuku. Sedikit bergeser menjauhinya. Berjalan terpisah, bukan beriringan. Itu pilihanku. Dan bagusnya, Tae-hyung sama sekali tidak protes. Ia terlihat santai tersenyum sambil memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana, walau jarak kami sekarang satu meter saling berjauhan. Dulu mungkin ia akan mencegahku saat mencoba menjauh seperti ini dan memohon-mohon dengan rayuan 'Chagi~' tapi tidak untuk sekarang, dan mungkin untuk selamanya tidak akan pernah lagi.

.

.

.

"Kemarin aku membelikan adik perempuanku Americano tanpa gula. Dan dia justru marah-marah padaku. Dia merengek minta dibelikan yang lain. 'TaeTae Oppa mau membuatku mati dengan mulut pahit selepas minum kopi itu?!' " Tae-hyung terkekeh senang sambil membolak-balik halaman buku menu di atas meja kami. Meja nomor 5 yang berdekatan dengan sebuah pot bunga. Cafè minimalis ini tidak terlalu ramai. Bertema klasik dengan beberapa lukisan indah terpajang menghiasi dinding, patung kayu berwujud burung merak yang anggun di sudut ruangan dekat meja kasir, ornamen seni di meja kecil dekat pintu keluar, dan alunan instrument piano dari sound system menjadikan cafè mungil ini terasa cukup nyaman untukku.

"Tentu saja dia marah. Americano itu terlalu pahit untuknya. Kau harusnya lebih memerhatikan apa selera adikmu sendiri.." ujarku malas. Memasrahkan bobot tubuhku pada sandaran kursi kayu yang aku duduki. Memejamkan pelan kedua mataku. Mencoba hanyut dalam lantunan musik yang mengintrupsi indera pendengaran.

Why So Serious? [VKOOK]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang