Twenty Nine

247 35 8
                                    

Aku merasakan cahaya matahari menusuk mataku. Aku membuka mataku dengan perlahan. Langit-langit kamar yang sangat familiar yang pertama kali aku lihat. Oh tidak.

Aku langsung memperhatikan setiap sudut di ruangan familiar ini. Ini kamarku. Kepalaku terasa sangat pusing.

Apakah semuanya hanya mimpi? Apakah semua tentang aku dan Luke hanya.. mimpi?

"Um, begini saja, jika kita terbangun, dan berpikir semua ini hanyalah mimpi, datanglah ke taman di belakang sekolah.. Jika kau melihatku, datangi saja aku." 

"Tapi bagaimana jika aku tidak melihatmu?"

"Kau tunggu disana sampai bel pelajaran pertama berbunyi, jika aku belum juga datang, mungkin ini hanyalah mimpi"

Aku segera bangkit dari kasurku dan mencari teleponku di nakas. Oh, ini hari Rabu! Aku berlari kearah lemariku dan mengambil bajuku secara acak.

***

Aku melangkahkan kakiku ke taman sekolah, berharap aku menemukan sosoknya disini. Tapi harapanku pupus ketika aku tidak melihat siapapun yang ku kenal disini. Hanya ada sekitar empat orang yang sedang bermain basket di lapangan, dua orang sedang duduk di bangku taman, dan satu orang sedang menyirami tanaman.

Aku menghela nafasku dan duduk di salah satu kursi yang kosong.

Entah kenapa aku merasa sangat takut jika semua ini hanyalah mimpi. Apakah aku begitu menyukai Luke? Well, tidak. Aku mencintainya. Tapi apakah karena aku terlalu mencintainya aku sampai bermimpi jika aku dan Luke terlempar ke masa depan dan menikah?

Ya Tuhan.

Aku melihat jam tanganku, 06.20 am. Sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Oh Luke, kau dimana?

Aku melihat ke sekitarku, berharap seorang lelaki berambut pirang berjalan kearahku. Tapi aku tidak melihatnya.

Aku menghela nafas dan menunduk. Aku berusaha menahan air mataku yang ingin keluar. Aku benci semua ini. Aku benci telah memimpikan sesuatu yang sangat indah. Sekarang aku merasa bahwa semua ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Krriiiinggggg!

Suara bel menyoraki telingaku. Air mataku jatuh begitu saja. Aku bangkit dari bangku taman dan menyapu air mataku dengan kasar.

"ASHLEY!" Sebuah suara membuatku menghentikan langkahku. Aku berbalik dan tiba-tiba saja seseorang langsung menabrak bibirku dengan bibirnya.

Dia Luke. Aku memang belum melihat dia siapa, tapi aku bisa merasakannya. Dia menciumku, dan aku membalasnya.

"Sorry i'm late" Bisiknya setelah kami melepaskan ciuman kami. Tebakanku benar, itu Luke. Luke memperhatikan wajahku, lalu menyapu air mataku, "Don't cry."

Ia mundur satu langkah, "Tadi aku membelikanmu ini," Ujar Luke seraya menyerahkan se bucket bunga mawar. Senyumku mengembang.

"Ashley Vannessa Horan, atau Hemmings," Luke terkekeh, "apa kau mau jadi pacarku?"

Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk, "Ya, aku mau"

Luke tersenyum lebar dan mengangkat tubuhku, "Luke, turunkan aku!" Seruku. Luke tertawa dan menurunkanku. Aku memberanikan diriku untuk menciumnya duluan. Luke agak terkejut pada awalnya, tapi kemudian ia tersenyum dan menciumku balik.

"I love you, Ashley"

"I love you, Luke."

The FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang