Gue ketemu Seruni hampir sebelas tahun yang lalu. Waktu itu gue masih tujuh tahun, kelas 1 SD. Dia berlibur setiap akhir semester di Bandung bersama adik dan dan orang tuanya. Selama liburan mereka tinggal menginap di rumah Nenek Indah―tetangga gue, neneknya Seruni.
Gue udah lupa bagaimana awalnya kami berkenalan sampai akhirnya bisa menjadi teman. Yang masih gue ingat, Seruni sama adiknya suka datang pagi-pagi banget ke rumah, ngajakin main. Saat gue masih betah tidur, cewek itu malah udah mandi dan wangi.
Namanya juga liburan gitu ya, kerajinan banget yang semangat mandi pagi.
Gimana cara ngejelasin penampakan Seruni kecil? Dulu dia lebih tinggi daripada gue, mukanya imut, gak banyak ngomong tapi ... pemaksa. Dia selalu maksa-maksa gue buat ngajarin dia main sepeda, gue menolak tentu saja. Daripada ngajarin dia main sepeda, mending main lego, atau main layangan di lapangan. Setiap gue menolak, dia gak pernah ngambek. Dia justru datang lagi dan lagi, ngebaik-baikin gue dengan cara ngasih kue bikinan mamanya yang super lezat.
Lezat banget. Apalagi kalau dibandingkan sama Bunda yang nggak bisa masak. Bunda bisa sih masak, tapi jarang. Dan, kalau bikin kue suka ngaco. Kemungkinan hasilnya cuma dua, kalo nggak bantet ya gosong.
Gue luluh-lah dibaikin begitu sama Seruni. Gue suka iri, di sekolah anak-anak suka bawa bekal makanan sendiri. Buatan ibunya masing-masing, gue juga suka bawa bekal tapi bikinan asisten rumah tangga, atau beli dari rumah makan pinggir jalan.
Waktu pertama kali gue makan kue yang Seruni bawa itu, gue sampai mau nangis rasanya. Kue itu masih hangat dan mengepul waktu gue makan. Menandakan kalau kue itu baru jadi dibuat dan langsung disuguhkan. Gue terharu, ngebayangin kalau seandainya Bunda bangun subuh-subuh, dan masak kue buat anaknya.
Saking enaknya kue itu, gue sampai berpikir kira-kira Tante Mawar open order nggak ya? Mana tahu kuenya dijual.
Dua hari sebelum liburan semester berakhir, Seruni pasti balik lagi ke kotanya yang gue enggak tahu di mana. Gue gak pernah nanya, dan dia nggak pernah cerita. Boro-boro cerita, setiap dia ngomong pasti gue sanggah terus. Gue sebenarnya nggak mau sih galak-galak sama Seruni, tetapi gue takut kalau orang-orang ngira gue naksir dia.
Zaman gue masih SD, kalau kita naksir seseorang harus kuat-kuat nahan diri untuk nggak cerita sama siapapun. Kalau sampai bocor siap-siap aja diledekin. Gue nggak ngerti kenapa, yang jelas saat gue masih kecil dulu kalau anak-anak naksir lawan jenisnya itu dianggap sesuatu yang memalukan.
Waktu itu, liburan semester dua masih sisa sepekan lagi. Nenek Indah meninggal dan beberapa hari setelah kematian beliau, Seruni bersama keluarganya kembali ke kota asalnya. Gak pernah datang lagi ke Bandung hingga bertahun-tahun setelahnya. Rumah Nenek Indah disewakan berkali-kali kepada orang yang berbeda, dan gue gak pernah mendengar kabar mereka lagi sampai hampir sebelas tahun lamanya.
"Bisa nggak sih bawa motornya cepetan?!" hardik cewek yang sedang duduk dalam boncengan gue sekarang. Menyeret kembali gue ke masa kini, setelah aroma hujan dan dinginnya udara tiba-tiba memutar kenangan gue dengan Seruni. Gadis yang beberapa waktu ini namanya memenuhi pikiran dan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet Again
Teen FictionIni adalah kisah tentang Bima, Seruni, dan Lily. Bima, cowok nyaris sempurna namun kurang beruntung dalam urusan cinta. Cewek yang disukainya selalu memilih cowok lain. Seruni, gadis yang dulu selalu mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi. Menyogok Bima...