9. Sayang Seruni

560 46 17
                                    

Tatapan gadis itu menusuk tepat di kedua matanya.
Namun apa arti tatapannya Bima tidak tahu.
Yang dia sadari jantungnya tiba-tiba berdebar tak terkendali.

***

Ada desir aneh yang menyergap hatinya ketika Bima memasuki ruangan berdinding putih ini. Rasa cemas dan rindu tiba-tiba menyesakkan dada saat melihat Seruni terbaring lemah dengan berbagai macam alat penunjang kehidupan di tubuhnya. Wajah gadis itu tampak pucat, bibirnya yang merah alami terlihat kering saat ini. Pun matanya yang indah bercahaya kini sayu kehilangan kilaunya.

Sejak mengetahui Seruni masuk rumah sakit, Bima tak mampu berpikir alasan apa yang akan dikatakannya kepada orang tua Seruni agar dia diizinkan ikut menjenguk saat itu juga. Om Hans mungkin tidak akan melarang, tetapi ibunya? Kuliahnya besok? Belum tentu mau mengerti.

Beruntung bagi Bima, saat hendak berangkat ke rumah sakit mobil Hans mendadak mati. Entah apa sebabnya, yang Bima tahu itu adalah kesempatannya untuk memberikan tumpangan.

"Mama...." Lily yang sejak tadi hanya bisa berdiri melihat keadaan kakaknya, kini melangkah maju. Mengelus lembut pundak ibunya yang duduk di samping tempat tidur. Pandangan mata Mawar tak lepas dari Seruni. Kecemasan terlihat jelas di wajahnya.

Ibu dan anak itu berpelukan. Bima tahu Lily susah payah menahan tangis. Sejak kejadian tarik-tarikan dengan cowok tadi, Bima jadi tahu kalau ternyata gadis galak ini sangat cengeng. Mengetahui kabar kakaknya dibawa ke rumah sakit saja, hidungnya langsung kembang kempis. Namun Lily tidak mungkin menunjukkan kesedihan di saat ibunya berusaha tegar. Tak ingin membuat ibunya cemas, Lily memilih untuk menyimpan tangisnya sendiri.

"Kamu datang sama siapa?" tanya Mawar pada anak bungsunya.

"Sama Papa tapi Papa masih ngurus administrasi. Dan ... sama Bima juga."

Mawar menatap remaja lelaki bertubuh tinggi yang diam mematung di depan tempat tidur Seruni. Anak-anak mereka memang berteman dengan Bima tetapi Mawar tetap merasa heran. Sebab Bima sangat sering menemui kedua anaknya.

"Mobil Papa mendadak mati pas mau berangkat tadi. Kehabisan bensin. Jadi kita nebeng mobilnya Bima." Lily menjelaskan. Oh begitu. Mawar tersenyum maklum. Bukan sekali suaminya lupa mengisi bahan bakar dan sering kehabisan bensin saat mobil akan digunakan.

"Terima kasih Bima, kami jadi ngerepotin."
"Sama-sama Tante, Bima ... gak merasa direpotin kok," jawabnya sambil menyerahkan tas pakaian yang dia bawakan. Rasa malu dan cemas bergumul dalam hatinya. Malu karena dia seperti tamu tak diundang yang tiba-tiba datang di tengah keluarga orang lain. Cemas karena dia belum tahu apa yang terjadi pada Seruni. Menanyakan Seruni sakit apa, pun dia tidak berani.

Bagaimana jika Seruni sakit parah? Bagaimana jika sakit Seruni susah disembuhkan? Lihat saja tubuh yang terbaring lemah itu. Bahkan gerakan napasnya pun sangat pelan.

Mawar menangkap kegelisahan itu. Anak lelaki yang berdiri di depannya menatap sendu pada sosok Seruni yang terbaring tak berdaya. Bima terlihat lelah, rambutnya berantakan, tatapan matanya sayu. Apa yang terjadi diantara mereka berdua?

"Bima baru pulang kuliah ya?" tanyanya hati-hati.

Mata Bima mengerjap sebelum menoleh dan tersadar bahwa dia diperhatikan Mawar sejak tadi.

"Eh, i-iya Tante. Baru pulang kuliah langsung ke sini. Hm ... Seruni sakit apa ya, Tante?"

Bima tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Kantung infus Asering yang menggantung penuh itu tidak bisa memberi jawaban pada rasa ingin tahunya. Separah apa sakit Seruni sampai dia harus mendadak pulang dari Malang?

When We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang