7. Tahap Awal

508 49 17
                                    

    Seruni adalah cinta tumbuh tanpa dia sadari. 
Cinta yang tahu-tahu sudah mengakar dalam hatinya. Kuat sekali.


***    

Pernah jatuh cinta? Kalimat itu yang akan dikatakan Bima jika ada orang yang menatap aneh padanya. Pagi ini, ibunya heran karena Bima bangun pagi-pagi sekali. Senyumnya melengkung sempurna. Bima terlihat lebih bersemangat daripada biasanya. Meski badannya ngilu dan hidungnya gatal akibat kehujanan kemarin―tidak ada yang bisa menutupi raut wajah bahagia Bima. Begitu pula dengan matanya yang berbinar memesona. Semangat yang mengisi penuh tubuh dan hatinya, mengalahkan virus flu yang sedang menyerang imunitas tubuhnya.

Percakapan dengan Seruni semalam membuat hormon-hormon jatuh cintanya bekerja. Obrolan mereka yang terus berlanjut sampai larut itu―menjadi bukti yang tak bisa dibantah bahwa gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

Seruni menemani Bima mengerjakan tugas dan berbincang hingga larut malam. Mendengarkannya bercerita tanpa banyak membantah. Tidak mengeluh meski waktunya telah Bima curi begitu banyak. Apalagi namanya kalau bukan cinta?

Beberapa perempuan memang pernah singgah di hati Bima, menjadi objek kameranya, pun melewati masa remaja bersamanya. Namun tak ada yang seperti Seruni. Seruni adalah cinta tumbuh tanpa dia sadari. Cinta yang tahu-tahu sudah mengakar dalam hatinya. Kuat sekali. Bima bersedia menjauhi semua perempuan di dunia ini, demi memiliki Seruni seorang.

"Lo mau dibonceng gue, Runi? Serius cuma mau dibonceng aja?" tanya Bima santai, padahal susah mati dia menahan degup jantungnya yang menggila karena ucapan Seruni.

"Kok kamu nanyanya gitu?"

"Yah ... padahal gue bersedia kok lebih dari sekadar― ehm, teman yang hanya bisa boncengin lo."

"Maksudnya?"

"Boncengin doang mah, kecil. Nih, gue punya dua telinga yang siap untuk mendengarkan apapun yang ingin lo ceritakan. Gue juga punya dua tangan yang bisa lo jadikan pegangan."

"Gembel kamu, Bima!" Seruni terdengar seperti menahan tawanya.

"Gombal kali! Gembel itu pengemis."

"Hahaha berarti kamu gombal doang, gak serius?"

"Gue serius, Seruni."

"Kalau kamu serius, aku minta jempol kaki kamu buat jaminan."

"Jangankan jempol kaki, jantung juga gue kasih."

Bima tersenyum geli mengingat obrolannya dengan Seruni. Begitu kan, seharusnya seorang teman? Bersedia mendengarkan dan siap dijadikan pegangan. Intinya, Bima tulus jadi teman Seruni. Sebuah langkah awal yang bisa membuat kedekatan keduanya menjadi semakin rapat. Dan, siapa yang sangka percakapan itu bisa menjadi percakapan lebay yang menyinggung soal hati.

"Halo Lily...!" sapa Bima ceria ketika melihat gadis berambut cokelat mahogany itu ke luar dari gerbang rumahnya. Sekali lagi, Bima jatuh cinta. Jatuh cinta pada kakak gadis ini. Itulah yang menjadi alasan terbesar kenapa dia bangun lebih pagi hari ini. Niatnya sederhana, dia hanya ingin menjemput adik calon pacarnya. Gadis yang terang-terangan tidak memiliki ketertarikan padanya.

Menurut Bima ini bukan langkah yang salah. Jika mencintai jangan setengah-setengah. Jika ingin mendapatkan Seruni maka harus bisa melunakkan Lily. Seruni dan Lily itu seperti kuku dan jari. Sepaket. Bima sadar Lily memang ketus padanya, sangat terlihat kalau Lily tidak menyukainya―meski entah alasannya apa.

When We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang