Part 1

4.1K 164 11
                                    


"Naina!" teriak wanita paruh baya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan di ruang makan.
Sementara suaminya tampak sedang mencuci kendaraan, yaitu motor vespa. Dan anak gadisnya, Naina masih berdandan di kamar.

"Naina, sudah hampir jam tujuh." Ibunya mengetuk pintu kamar.

Naina menarik nafas dalam sambil menatap kalender di dinding kamar. Matanya tertuju pada tanggal 20 Juni.

"Naina." Ibunya masih penasaran, tak biasanya gadis itu diam saja ketika dipanggil.

Naina membuka pintu dan menatap ibunya.

"Kau tampak tak sehat." Ujar ibu.

"Hanya kurang tidur."

"Masih memikirkan si artis itu?" ibu bernada kesal.

Naina menggeleng. Dia segera menuju meja makan menghabiskan sarapannya. Lalu berpamitan pergi.

"Oh ya, banyak lamaran yang datang untukmu." Ujar ibu lagi.

"Bu.. apa tidak lelah?" Naina tampak memelas. Dia sudah sangat lelah dengan bahasan pernikahan yang hampir setiap hari diajukan ibunya. Baik pagi maupun malam. Seolah tiada lelah memprovokasi anaknya untuk segera menikah.

Naina sendiri bukan tidak mau menikah. Dia masih memikirkan masak-masak untuk urusan yang satu ini. Karena pernikahan bukanlah seperti main boneka di masa kecil, yang hanya diketahui bahwa ini suami dan ini istri, lalu tiba-tiba saja ada tokoh anak entah bagaimana prosesnya.

"Sebagai seorang ibu, aku ingin kau dapat pria yang baik. Yang sesuai dengan kriteria suami idaman para wanita."

"Idaman setiap wanita berbeda-beda bu."

"Oh, jadi idamanmu masih seperti si artis itu?" ibu mulai meninggi.

"Ya Tuhan...." Naina mendelikkan matanya sambil meneguk air putih.

"Kau berulang kali gagal mendapatkan pria yang bisa jadi suami. Jadi mulai hari ini, aku putuskan! Sebagai ibumu, akulah yang akan menentukan siapa calon suamimu!"

Naina langsung menyemburkan air dari mulutnya sambil melotot kaget. Ayahnya hanya menoleh dari luar.

"Bu, ini hidupku!"

"Hidupmu adalah hidupku. Aku yang menjadikan adanya kehidupan untukmu." Ujar ibunya tak kalah sengit, bahkan dengan wajah percaya diri dan bangga.

Naina menoleh pada ayahnya. Dia sudah lelah berdebat dengan ibunya setiap hari.

"Dia tak bisa membantumu." Katanya lagi sambil memberi isyarat picingan mata satu pada suaminya. Ayah Naina langsung kembali memandang motor tuanya.

"Baiklah. Apa pun dan siapa pun asal kalian bahagia." Ujar Naina segera menyambar tasnya dan pergi ke tempat kerja. Bukan berarti setuju, tapi dia menyerah pada akhirnya.

***

Naina bekerja di sebuah butik di pusat kota Mumbai. Bukan butik atau toko biasa, yang pergi kesana adalah kalangan atas dan para selebritis. Dan ya, disitulah dia bertemu si artis yang kini dibenci ibunya.

Tiba di butik, dia merapikan semua pakaian sebelum pelanggan datang. Teman-temannya pun melakukan hal sama. Setiap hari dia lalui dengan kegiatan yang sama. Dan makan siang pun dengan teman yang sama, yaitu Mela, juga dengan obrolan yang hampir sama. Seputar pria dan kekasih. Membosankan.

Ketika kembali ke rumah ibu tampak berbinar menyambutnya. Naina sudah tahu, pasti ada kabar baik bagi ibunya namun kabar buruk bagi dia.

"Besok aku akan bertemu teman-teman sekolahku. Reuni." Kata ibu sambil menggandeng Naina.

"Nice to hear that..." Naina tersenyum senang karena ibunya bukan membahas soal pernikahan.

"Kau tahu, mereka juga memiliki anak-anak yang masih single. Anak laki-laki pun banyak. Ini kesempatan ibu mencari suami untukmu." Katanya dengan senang.

Naina langsung memejamkan mata. "RIP."

"Kau bilang apa?" tanya ibu.

Naina menggeleng.

"Tapi darimana ibu tahu semua itu? Kalian kan sudah... bisa dikatakan puluhan tahun tidak bertemu." Tanya Naina.

"Aku harap anakku tidak ketinggalan zaman. Kami biasa mengobrol di grup whatssapp. Kami ceritakan anak-anak kami hehehe...." tawa ibu terdengar renyah.

Whatssapp?? Ibu? Naina langsung memegang keningnya.

"Dan Suman, dulu kami pernah berebut pria. Tapi ternyata sekarang anaknya lelaki dan belum menikah. Kupikir.... daripada kami bermusuhan seperti dulu, tak ada salahnya kami berbesan." Katanya dengan agresif.

"Bu... lihat dulu anaknya. Baru...."

"Ini." ibu menyodorkan phonsel pintarnya. Benar-benar serba cepat sekarang, Naina sampai menelan kuenya seketika. Naina melotot bukan main melihat foto pria di ponsel ibunya.

"Ibu... apa kau sadar?" Naina setengah teriak menatap pria muda itu.

"Begini. Suman bilang anaknya tidak mau difoto olehnya karena takut diberikan pada teman-temannya. Jadi ini foton masa SMA. Sekarang usianya sekitar 28 tahun." Ibu sumringah.

Naina menutup wajahnya dan ingin rasanya menangis. Bayangkan saja, 28 tahun?

"28?" Ayah ikut bicara seolah mewakili apa yang ada di pikiram Naina. "Putrimu ini sudah 34 tahun, Gangga." Dia menatap Naina lalu beralih pada istrinya.

Naina membuka lebar kedua tangannya seolah membiarkan orang tuanya berdebat. Lalu berpangku tangan bersiap jadi penonton.

"Apa salahnya? Anak kita masih gadis. Masih perawan. Usia bukan halangan untuk jatuh cinta."

"Dan kami dijodohkan bu. Bukan jatuh cinta." Naina memasang wajah memelas. Dia segera pergi ke kamar dan membiarkan orang tuanya berdebat. Lalu mencelupkan kepalanya ke bak mandi karena obrolan orang tuanya seputar pria itu masih terdengar juga dari kamar.

Bahkan ketika makan malam, ibu masih membahas pria itu. Setiap melihat iklan di televisi dan ada pria tampan dia akan berkata... "lebih tampan anaknya Suman kan Naina." Membuat Naina menutup telinganya lalu pergi karena merasa lelah, lelah dengan promosi ibunya.

Bersambung.

Bukan suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang