#1

344 72 42
                                    

"Duh, mampus!

Karen kembali merutuk. Ini jelas-jelas salah Devan, kakaknya-yang-amat-sangat-susah-dibangunkan. Sudah dibangunkan sampai 7 kali dengan berbagai macam cara dan pada akhirnya ia tetap bergeming, setia dengan kasurnya bagaikan sepasang kekasih.

Pasrah dengan keadaan yang ada, dengan cepat gadis itu menyambar sepedanya ketika mengetahui gerbang sekolahnya akan ditutup 10 menit lagi.

Sebenarnya tidak jauh, hanya sekitar 2 kilometer. Hanya saja Karen tak terlalu mahir dalam bersepeda, apalagi harus melewati jalanan yang riweuh ini.

Dan disinilah dia, mengendarai sepeda seperti kesetanan.

Setelah berkutat dengan padatnya jalanan, lambat laun gapura bertuliskan SMA Persada Bakti tertangkap pandangannya. Karen menyeringai, tujuannya semakin dekat.

Ya, semakin dekat.

Namun semakin dekat pula ia dengan lelaki tua berbadan buncit yang sudah menghadang di depan gerbang.

Karen mendecak. "Wah, wah, bahaya. Ga bisa dibiarin," gumamnya.

"PAK RUFUS! JANGAN DITUTUP DULU GERBANGNYA!" pekik Karen dari kejauhan, berharap penjaga itu mau mendengarkannya.

Namun nasib berkata lain, teriakan super cempreng itu tak cukup untuk menggoyahkan niat Pak Rufus yang kini masih sibuk mengunci gerbang sekolah. Membuat gadis itu kembali merutuki Devan.

Karen menghela napasnya pelan. "Bagus ya, Bang. Gara-gara lo, gue telat lagi untuk kesekian kalinya. Moga aja adek lo yang cantik nan menggemaskan ini bisa lolos dari Cacing Alaska sekarang," rutuknya sambil menyebrang.

Dan kini, dirinya sudah berada tepat di depan mata sipit Pak Rufus yang berbingkai kacamata.

Ia menatap lelaki itu sembari memberikan senyuman yang (mungkin) akan meluluhkan hati Pak Rufus, Si Cacing Alaska.

"Pak, ayolah. Masa ga kasian sama Karen yang suka menolong, baik hati, dan tidak so–"

Rufus menggeleng. "Tidak. Kamu kan sudah saya beri tahu, kalau telat lagi saya tidak akan kasih kompromi," tegas Rufus. Dia sudah tidak tahan lagi dengan siswinya yang satu ini.

"Ah elah, Bapak. Baru telat semenit juga," jawab Karen seraya memperlihatkan arloji miliknya yang langsung diperiksa oleh Pak Rufus.

Mendadak saja bola mata sipit itu melebar. "Heh! Kamu kira saya bodoh apa!? Jam kamu sudah dilambatkan 10 menit, kan!" seru Rufus sambil berkacak pinggang. Kumisnya yang tebal naik turun, tanda mulai emosi.

Karen terkesiap. Mengapa Pak Tua ini mendadak menjadi pintar? Padahal Karen sudah lama membodohinya dengan trik ajaib yang tentu saja–buatan sendiri.

Dan kini, trik yang berkali-kali sudah jadi penyelamat kesiangan dan ia jaga bertahun-tahun akhirnya ketahuan juga.

"E-eh, eng-enggak kok, Pak! Saya gak ngelambatin jam saya!"

"Tidak usah bohong sama saya! Saya tahu kamu itu bohong!"

"Lah, Bapak tau dari mana jam saya sudah dilambatin 10 menit?" sergah Karen.

SorellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang