#4

186 60 22
                                    

Karen's POV

"Udah sampe, Ren."

Oke, sebenarnya aku gak sadar kita udah sampe di ruang TU. Tapi ayolah, masa aku-Si Cewek Perkasa Persada Bakti mau ngaku?

Aku mendorong punggungnya. "Yaudah buruan sana masuk, gue tungguin," kataku. Namun kaki Raka yang menahan membuatku semakin susah untuk mendorongnya masuk.

Ia lantas menoleh. "Lo gak mau ikutan masuk?" tanya Raka.

Dahiku mengernyit, sepertinya dia tak akan mau masuk sendiri.

Oh tidak. Bahaya. Perlahan tanganku turun dan menjauhi punggungnya.

Dengan cepat aku menggeleng. "Gak," balasku sambil berjalan menjauhinya. Ayolah, siapa juga sih yang mau? Celingukan di sana gak jelas plus diliatin guru-guru?

Setelah dirasa aman, perhatianku kini teralih pada ponsel yang baru saja aku keluarkan dari saku. Jemariku asik meng-scroll timeline Instagram, sesekali membubuhkan like pada postingan yang ada.

Tiba-tiba saja lengan kiriku tertarik ke belakang, membuatku terhuyung sejenak yang hampir saja membuat ponsel milikku terjatuh. Reflek saja kedua kakiku yang tersentak langsung menahan untuk menjaga keseimbangan.

Aku menghembuskan napasku dengan kasar seraya memutar kedua bola mataku.

Apa lagi sekarang?

Aku memutar tumitku dan menatap tajam Raka yang masih berusaha menggeretku. "Apaan sih, Rak!" seruku seraya menyentakkan tanganku namun hasilnya nihil.

Hari ini kuakui kalau tenaga laki-laki memang lebih kuat dari perempuan.

"Lo ikut."

Mataku membulat sempurna. Masuk ke ruang TU? Tidak, tidak.

Lebih baik aku masuk ke ruang konseling dan diceramahi panjang kali lebar dibanding masuk ke ruang yang satu itu. "Rak! Raka! Gue gak mau!" seruku sambil memukul-mukul bahunya.

Sial! Raka tetap saja menggeret masuk, kokoh dengan pendiriannya sedang aku meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari tarikan kuatnya.

"Raka! Lepasin atau gue-"

Raka menoleh, ia memicingkan mata padaku. "Kan tadi lo bilang mau temenin gue administrasi. Bukankah begitu, Nona?"

"Heh! Gue bilangnya anterin lo, ya. Bukan nemenin lo!" bantahku. Rupanya ada yang mengungkit-ungkit janji di sini.

"Pak Tomo! Bagian barat belum selesai dicat ya?"

Nafasku tercekat. Suara itu. Nada bicara serta aksen yang khas. Satu-satunya suara yang dapat membuatku membeku. Perlahan kutolehkan wajahku ke arah lorong, tempat suara itu berasal.

Gawat. Bu Rina.

Sebuah cengiran tertampang jelas di wajah Raka. Perasaanku gak enak sungguh. Sepertinya radar bahaya alamiahku mulai berdering.

Aku menatapnya was-was. Oh, lihatlah mata hitamnya itu, menatapku licik yang membuatku ingin segera menonjok muka menyebalkannya.

Jangan bilang kalau Raka-

"Ikut gue atau gue panggilin nyokap gue buat lo."

Tuhan, apakah Raka seorang cenayang?

"Gila, Rak! Gak, gue ga mau!" seruku sambil mengibaskan tangan.

Raka mengedikkan bahunya, "Terserah lo aja sih, Ren."

"Rak, please. Masa sih lo-"

Derap langkah Bu Rina samar-samar mulai terdengar. Bayangan tubuhnya mulai terlihat. Aku menggigit bibirku pelan.

SorellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang