#3

260 60 17
                                    

Papan penanda kelas bertuliskan XI IPA 5 lambat laun mulai terlihat. Karen mempercepat larinya, dan kini sampailah dia.

Namun aneh, suara bising memenuhi kelas itu.

Segera saja Karen memasuki ruangan kelas. Beberapa cewek yang menggosip sambil tertawa cekikikan tertangkap pandangannya. Cowok-cowok mengobrol, tidur, atau menjahili anak cewek, itung-itung modus.

Gadis itu tersenyum kecil. Jamkos, huh?, batinnya.

"Woi, Karen!"

Yang dipanggil dengan cepat menoleh, mendapati seseorang dari pojok kelas berlari menghampirinya.

"Gila lo, Ren! Baru nyampe. Saik menn," sapa suara bariton itu sambil menepuk pelan punggungnya.

"Jelas dong! Bukan Karen namanya kalo ga telat. Jamkos?" tanya Karen sambil melemparkan cengiran khasnya.

Lelaki itu mengangguk, "Gara-gara Bang Devan lagi?" tanyanya.

Gadis itu mendengus. "Iya, udah gue bangunin berkali-kali masi aja ga mempan. Kayaknya kudu pake kembang tujuh rupa kali ya biar bangun."

Lawan bicaranya tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya. "Makanya, kali-kali lo nebeng gue kenapa, sih? Rumah kita sebelahan juga," ujarnya sembari menyikut pelan lengan gadis itu yang kini terkekeh.

Karen menggeleng, "Bagas, ga usah kali. Ntar adanya malah gue ngerepotin lo."

Lelaki itu-Bagas menatapnya tajam. "Kita udah kenal dari orok dan lo masih takut ngrepotin gue?"

"Btw, yang ngabsenin udah dateng belom, sih?" tanya Karen sambil berlalu dan menaruh tasnya di bangku yang tersisa.

Bagas menghela napas, tahu pembicarannya dialihkan. "Belom, kok. Paling bentar lagi dateng."

Setelah meletakkan tasnya, Karen berjalan mendekati Bagas yang sedang menatap keluar. "Oke, ijinin gue ya. Mau ada urusan bentar. Kalo yang ngabsenin dateng, bilang gue ke toilet."

"Oke."

Karen tersenyum simpul. "Yaudah, gue dulua-"

Dengan cepat Bagas menahan tangan Karen seraya memutar badan mungil gadis itu. Tentu saja Karen tersentak akibat gerakan mendadak Bagas.

Bagas mendekatkan wajahnya, menatap lekat manik coklat gelap nan menghanyutkan itu lekat-lekat.

Perlahan senyumnya terkembang. "Ati-ati, Ren," ujarnya sambil mengacak rambut Karen perlahan.

Pletak.

"Yaelah! Kayak gue mau kemana aja!" seru Karen setelah menjitak kepala yang ada di depan matanya. Mengakibatkan pemiliknya mengerang kesakitan.

"Udah ye, gue cabut. Bye."

Suara cempreng itu lenyap. Ia melenggang pergi, meninggalkan lelaki jangkung yang masih mengaduh di depan pintu.

Dari kejauhan Bagas menatap punggung jenjang yang mulai lenyap dari jangkauan matanya. Rambut coklat panjang tergerai beraroma melati yang selalu ia sukai. Iris coklat gelap yang selalu membuatnya terhanyut. Bahkan jitakan ganas dari tangan mungilnya.

Ya, ia selalu suka dengan semua hal itu.

Dan entah ia sadari atau tidak, seulas senyum lagi-lagi terlukis di wajahnya.

✖✖✖

Bola mata Karen bergerak, mengedarkan pandangan ke seisi kantin. Mencari sosok Raka yang masih belum tertangkap pandangannya.

"Gila, Raka mana sih?" gerutu Karen pelan.

Gadis itu kembali melirik arlojinya. Sudah 5 menit ia disini dan Raka masih belum menampakkan batang hidungnya.

SorellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang