Karen's POV
Bel istirahat yang berdering mengembalikanku ke alam sadar setelah dua jam pelajaran Kimia tadi, aku berkelana menjelajah alam mimpi. Aku membuka mataku namun yang kulihat hanyalah pandangan yang terdistorsi.
Sial, pandanganku kabur. Aku mengusap mataku beberapa kali dengan harapan pandanganku menjadi lebih jelas. Lambat laun pandanganku pulih dan sosok Bagas yang tertawa ke arahku mulai terlihat.
Aku mengernyit. Sebenarnya apa yang sedang ia tertawakan? Sampai-sampai matanya yang lebar menjadi sipit seperti bulan sabit. "Lo kenapa sih, Gas? Ketawa gak jelas kayak nenek lampir."
Sejurus kemudian tawa Bagas berangsur-angsur mereda. Ia lantas menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Perlahan ponselnya terangkat dan berhenti persis di depan mataku.
Tahu apa yang kulihat?
Satu kata. Sialan.
"ANJIR! Ngapain lo foto gue tadi pas tidur, hah! Gila, kucel banget itu muka gue!" seruku kesal. Tak henti-hentinya aku merutuk, menyumpah serapah kelakuannya yang laknat itu di dalam hati.
Bagas mengedikkan bahunya lantas menyengir. "Entah? Muka lo lucu, makanya gue foto. Lumayan, buat kenang-kenangan," ucapnya santai.
Aku memutar bola mataku malas. Lucu? Oh ayolah, apakah kau mau beradu sarkasme denganku sekarang?
Tanganku dengan cepat melesat menuju ponselnya, namun sialnya kalah cepat dengan gerakan Bagas. Ia menarik ponselnya ke dalam dekapannya lantas mendekatkan kembali ponselnya di depan mataku.
Bagas menggoyang-goyangkan ponselnya di hadapanku layaknya mengejek. "Gak bisa ambil, huh?" ejeknya yang hanya dibalas oleh dengusanku. Entah apa yang merasukinya, Bagas menjadi sangat-sangat menyebalkan sekarang.
Bolehkah aku menjotos mukanya sekarang?
"Heh! Lucu dari Hongkong! Hapus gak foto aib guee!"
"Udah gue bilang, buat kenang-kenangan, Ren."
"Kenang-kenangan pala lo peyang! Muka gue buluk kaya gitu ngapain lo simpen!"
"Lo cantik, Ren."
Aku kembali memutar bola mataku malas. "Gombal deh, biasa banget. Heh, Anus! Hapus gak foto-foto aib gue!" teriakku. Aku memukul-mukul lengannya dengan tangan kiriku sedang tangan kananku berusaha merebut ponsel laknat itu dari genggaman tangannya.
Bagas yang tahu ponsel miliknya kembali terancam, langsung menjauhkannya kembali. Bagas menjulurkan lidahnya mengejek. "Gak mau, wle. Dan jangan panggil gue Anus, Karen," gerutunya.
Aku mengangkat sebelah alisku. "Lah, bukannya nama lo Adrianus Bagas Angkadjaya? Sah-sah aja dong kalo gue panggil lo Anus?"
"Tapi kan gak enak didengerin, Ren."
"Kalo gak enak jangan dimakan, Anus."
"Karen!"
"Hapus foto itu atau lo bakal gue panggil Anus seminggu ini."
Bagas tercengang mendengarkan perkaataanku. Ia melayangkan tatapan ragu padaku, seolah tak percaya apakah aku akan benar melakukannya. Aku menyengir, "Gue serius, Anus. Lihat, bahkan gue udah mulai manggil lo Anus."
Bagas mendengus kesal. "Iya, Ren! Iya! Nih gue hapus! Puas lo, Ren?" seru Bagas seraya menghapus foto-foto aib tadi. Aku tersenyum penuh kemenangan. Bukankah sudah pernah kubilang kalau ancamanku berlaku pada siapapun?
Aku menganggukkan kepalaku riang, "Puas banget, Nus-eh, Bagas! Karena lo tadi ngeselin abis, traktir gue es krim dong, mau ya?" pintaku dengan mata yang sengaja dilebar-lebarkan. Menimbulkan efek imut yang sebenarnya kontras sekali dengan sikapku (re: amit).

KAMU SEDANG MEMBACA
Sorellina
JugendliteraturKaren dan Raka. Simpel. Gadis pemegang kekuasaan tertinggi di sebuah geng bejat di sekolah dengan lelaki yang terjebak di dalam kelas yang sangat tidak wajar. Klise? Memang. Tapi ini berbeda. Karena Karen adalah Sorellinanya. Cover by me ©2016 by cl...