Dapur SteHe 16

46 0 0
                                    

Sekarang, kita akan membahas tentang gaya penulisan.

Tetapi sebelumnya, saya ingin Anda membaca sebuah endorsement dari seorang teman tentang buku saya yang berjudul "Pengabdian Yang Ternoda".

"Sudah menjadi keahlian Stephanus Herry untuk menjelaskan suatu wisdom yang sangat penting dengan cara yang sangat menarik. Gaya narasinya membuat pembacanya seperti sedang melihat film Box Office peraih Piala Oscar ... seru dan bermutu. Membuat pesan dan nilai-nilai yang begitu penting itu menancap erat di hati pembacanya, menjadi wake up alarm setiap kali hati kita akan melenceng dari kehendakNya. Passion sekaligus skillnya membuat saya tidak cukup menyebutnya si Pemantik Hati saja, tetapi si Pemugar Hati, si Penegur Hati, si Konsultan Hati, si Pengejut Hati, dsb."

Liman Sentosa

Executive Director

Metanoia Publishing -Jakarta

Melalui endorsement itu, saya ingin menunjukkan kepada Anda tentang pentingnya gaya penulisan.

Saya menemukan gaya penulisan seperti buku novel dalam buku-buku rohani saya. Menurut saya, jarang buku rohani itu mempunyai gaya penulisan seperti novel, yang membedah sebuah peristiwa dengan jalan cerita yang apik, dan bahasa puitis namun mengandung arti yang dalam.

Mengapa hal itu saya lakukan?

Sebab pengalaman saya dalam membaca buku-buku rohani itu jarang yang membuat saya untuk menghabiskan sampai halaman terakhir. Kebanyakan buku itu membosankan, bikin lelah berpikir, dan tak sanggup untuk sampai halaman terakhir. Boro-boro sampai ke halaman terakhir, setengah buku saja itu sudah hebat.

Buku-buku rohani yang berat-berat itu membuat saya seperti sedang menggali sumur dan terbentur dengan cadas yang sangat keras.

Sejujurnya, buku-buku itu telah mematahkan semangat saya membaca, bahkan mematikan saya untuk menyukai buku.

Seperti dalam lumpur hisap keputus-asaan, saya tenggelam dengan definisi yang salah tentang buku!

Dalam persepsi saya, buku itu membosankan, berat-berat, hanya untuk orang yang pintar saja, dan tidak untuk orang yang seperti saya, sebab saya tidak mampu membacanya. Dalam bahasa Sundanya lebih cocok mendeskrisikan tentang buku-buku yang berat-berat itu, "Teu ka otakan ku urang mah!" (artinya: ngga masuk ke otak, atau tak mampu dipikirkan karena ketinggian dan berat).

Mengapa buku-buku rohani itu berat-berat, dan bahasanya tinggi-tinggi?

Apakah memang buku-buku yang bagus itu harus berat-berat dan bahasanya harus yang tinggi-tinggi?

Atau target market pembaca mereka itu adalah orang-orang yang pintar saja?

Ah! Seandainya!

Seandainya apa?

Seandainya saya bisa menulis, saya mau menulis buku yang sederhana, yang mudah dibaca, yang mudah dicerna, dan yang menarik. Saya ingin menulis buku yang kebanyakan pembacanya sampai ke halaman terakhir, seperti iklan susu bendera, "Sampai tetes terakhir". Itu tekad saya.

Jadi, mulailah saya mencari dan memburu gaya penulisan. Bagi saya, gaya penulisan itu merupakan hal penting kedua setelah pewahyuan yang TUHAN nyatakan tentang kebenaranNya.

Sekarang, gaya penulisan saya khas. Bahasanya sederhana dan khas pula. Tetapi, apa pun gaya penulisan itu, yang terpenting adalah menjawab tantangan standar buku yang bagus, yaitu menarik sehingga pembacanya membaca sampai tetes terakhir!***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dapur SteHeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang