Nokturnal

6.2K 420 22
                                    

Sepeninggal Badrul, Aldi mabuk-mabukan espresso di Méala. Ada lima cangkir dia habiskan. Merenung, menyeruput, lalu merenung lagi sambil sesekali melihat jam, memutuskan waktu yang tepat untuk kembali ke kantor. Sesekali dia memeriksa surelnya atau membaca berita di flipboard.

Jam kerja hampir usai ketika Aldi tiba di kantor. Langit sore itu tampak cantik dengan semburat jingga kemerahan di ufuk barat. Dia tak bisa lepas dari pemandangan indah itu. Walaupun sudah di dalam kantor, dia masih curi-curi pandang, memandanginya dari balik kaca.

Aldi berjalan menuju lift, hendak kembali ke ruangannya. Dia melewati para pegawai yang mengantre, bergantian memasukkan kartu absen. Shilah ada di antara kerumunan itu, mengobrol dengan Atha dan Made.

Aldi berbalik, berjalan agak cepat ke arahnya, “Shilah!” panggilnya agak keras.

Shilah menatap Aldi dari jauh dengan bingung. Dia balik melambaikan tangannya. Kini giliran Atha memasukkan kartu absennya. Lalu berikutnya Made. Berikutnya lagi dia. Namun, melihat Aldi memanggilnya, Shilah memutuskan untuk keluar dari barisan itu dan menghampiri Aldi.

“Alif sudah pulang? Rapat siang tadi sukses ‘kan?” tanya Aldi saat jarak mereka sudah cukup dekat.

“Kayaknya Pak Alif masih di kantor. Saya rasa Pak Aldi nggak perlu khwawatir soal itu, kan?” Shilah mengedipkan sebelah matanya.

Aldi menghembuskan nafas lega. Tadinya dia sempat berpikir kalau Alif terlanjur kesal sehingga dia bakal asal-asalan ikut rapat. Untung saja ketakutannya itu meleset.

“Terima kasih banyak,” Aldi tersenyum lega, “mau pulang?”

Shilah mengangguk.

“Oke, hati-hati dijalan.”

“Siap, Pak. Saya duluan, ya.”

Aldi lalu masuk ke dalam lift yang kemudian melesat, membawanya ke lantai delapan. Dia mempercepat langkahnya, berharap Alif belum pulang. Benar saja, Alif masih berada di sana, sedang membereskan barang-barangnya untuk pulang.

“Lif?” panggil Aldi takut-takut.

Alif menoleh. Dia membetulkan kacamatanya dengan jari tengahnya. Mukanya tampak kesal, “apa lagi?”

Aldi cuma mengangkat bahu. Dia takut salah bicara. Alif seperti wanita kadang-kadang.

“Jam kerja udah bubar. Nggak ada waktu buat sok segan sama lo,” dia lanjut berberes tanpa melihat ke arah Aldi.

Aldi tertawa kecil. Dia menghampiri Alif lalu merangkul bahunya, “clubbing yuk, habis ini? It's my treat.”

Alif membelalakkan matanya. Ajakan itu bukan tipikal Aldi, “lo serius?”

“Iya.”

“Kesambet apa?”

“Rasa bersalah,” jawab Aldi cepat.

Alif diam sejenak. Dia membetulkan kacamatanya sekali lagi. Ragu-ragu, antara harus mempertahankan atau melelehkan amarah, “yuk, lah.”

***

Aldi sedang menumpangi mobilnya yang tengah dibawa Rivan menuju salah satu nightclub terbaik menurut Rivan. Berkat Rivan, mobil itu melaju kencang di jalanan. Padahal saat dibawa sopirnya, speedometer itu tak pernah lebih dari empat puluh. Dia cuma bisa mengatupkan tangan, berharap mereka tidak berakhir sawan.

Selain mereka bertiga, Tagi juga ikut meramaikan suasana. Alih-alih menyetel radio yang melantunkan musik elektro, sepanjang perjalanan, mereka mendengarkan permainan gitar Tagi dan suaranya yang agak bagus. Agak.

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang