Coffee Break

4.6K 406 45
                                    

“Makasih banyak, Di.”

Pekerjaan Aldi dan Findha baru saja usai. Mereka berdua berdiri. Aldi menjabat uluran tangan Findha. Dia membetulkan kerahnya sambil memperhatikan Findha yang tengah beres-beres. Dia kemudian ikut membantu perempuan itu.

“Di?” panggil Findha.

Aldi menengok tanpa menghentikan kegiatannya, ”ya?”

“Aku ngerasa perlu ngomong sesuatu ke kamu.”

Jantung Aldi mulai berdegup kencang. Perutnya serasa diserang ribuan kupu-kupu secara bersamaan. Tanpa pikir panjang, firasatnya langsung mengerucut ke satu hal. Mungkinkah soal status pernikahan Findha yang dia sembunyikan?

Aldi tidak menjawab. Dia mengode Findha untuk langsung melanjutkan ucapannya. Perempuan itu tampaknya paham karena dia langsung angkat bicara lagi, melanjutkan pernyataannya barusan.

“Dalam waktu dekat ini aku memutuskan untuk resign dari kantorku yang sekarang.”

“Oh, ya?” tanya Aldi dengan nada kecewa karena taksesuai harapannya.

Namun kecepatan detak jantung Aldi belum berubah, masih kencang seperti sebelumnya. Dia belum tahu apa yang akan disampaikan Findha berikutnya. Otaknya keburu cupet sebelum menebak karena rasa khawatir.

Findha melanjutkan, “dan rencananya, aku mau pindah ke sini.”

Aldi menghela nafas.

Baru sehari setelah bertemu dengannya lagi, Findha sudah berani memutuskan hal sepenting itu. Aldi takhabis pikir bagaimana Findha sampai berani mengambil keputusan sebesar itu dalam waktu semalam. Baginya, pekerjaan dan karir itu bukan hal yang main-main.

“Silakan.”

“Nggak apa-apa?”

Aldi jadi bimbang setelah dilontari pertanyaan. Bukannya dia tidak suka Findha pindah ke mari. Kalau alasannya bukan untuk bersikukuh mendekati dia lagi yang pasti berujung sia-sia seperti dulu, dia akan setuju.

“Itu kan wewenang yang nyeleksi kamu nanti. Kalau kamu emang kompeten, kita nanti ketemu di sini.”

Findha menghela napas. Dia tersenyum, “okay. Wish me luck.

Aldi menaikkan sudut bibirnya begitu otaknya mulai memproses apa yang bakal terjadi. Mulai beberapa saat kedepan, dia akan terjebak bersama Findha di sini sepanjang hari. Findha yang mencari-cari celah hatinya yang kosong dan berusaha menjejalkan dirinya di setiap lekuk.

Dan lagi, Aldi terlanjur terjebak oleh kepura-puraannya. Mau takmau, dia harus lengket lebih lama dengan Rivan. Bukan hal yang menyenangkan kalau Findha menangkap dia dan Rivan kemarin cuma sandiwara belaka. Aldi taktahu Findha bakal kecewa atau tertawa.

Rivan yang menyebalkan bukan alasan utama mengapa dia sudah merasa kalah sebelum berperang. Halangannya bukan terletak pada Rivan yang cuek, melainkan dia yang takbisa berbohong. Mau sampai kapan dia harus begini?

“Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi. Soal dompetku, makasih banyak. Kapan-kapan kutraktir.”

It’s my pleasure. Tanpa mengurangi rasa hormat, kusarankan traktir orang lain yang lebih membutuhkan. Itu seratus kali lebih baik dan bikin aku seneng.”

Findha mengulum senyum, “Zaldi, kamu lebih something ketimbang martabak manis red velvet.”

I am,” tawa Aldi berbarengan dengan suara pintu diketuk, “nah, Shilah udah dateng. Kamu bakal dianter dia lagi.”

“Yup. Bye,” Findha melambaikan tangan dengan senyum, “sampai ketemu lagi.”

Setelah Findha pergi, Aldi berjalan mendekati jendela. Dia berdiri di sana. Matanya meredup, menatap jalan raya yang ramai dan dipenuhi asap. Kalau dianalogikan, kurang lebih pikirannya seperti jalan raya itu. Sumpek.

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang