Aldi terkesiap ketika bahunya diguncangkan dengan kasar beberapa kali. Dia buru-buru membuka matanya. Tangannya mengepal, siap menghajar siapapun yang membangunkannya dengan alasan tidak penting.
Keadaan di sekelilingnya masih kabur. Perlahan, matanya menangkap wajah takasing yang menyebalkan. Rivan. Ternyata, sejak tadi dia tertidur.
“Dicariin, malah molor di sini,” tegur Rivan, “tuh, ada client yang nyariin.”
Aldi mengusap wajahnya, berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, “ada apa?”
“Ada client yang nyariin lo, tuh.”
“Bukannya kalian udah janji mau ngurusin?”
“Orangnya nggak mau berurusan sama kami. Ngotot pengen ketemu Pak-Al-di, padahal Shilah udah bilang lo lagi nggak available.”
“Dia nggak mau pergi?”
Rivan menggeleng, “ditungguin sampai lo bersedia, katanya.”
Aldi memijit pelipisnya. Pusingnya datang lagi, “terus, sekarang dia di mana?”
“Ruangan pribadi lo.”
“Sendirian?” Aldi terkejut.
“Ditemenin Shilah dan para cecunguk. Jangan khawatir, kita nggak senaif itu”
“Kalau modelnya kayak lo gini, gimana bisa gue nggak khawatir?” desah Aldi.
”Nyatanya nggak apa, ‘kan?” Rivan meletakkan sebuah kotak sepatu di lantai dan meraih sepatu Alif, “baik ‘kan gue?”
“Ye, kan salah lo sendiri,” sahut Aldi sambil mengenakan sepatu barunya itu. Dia beranjak dan berjalan ke meja.
“Nih, HP sama dompet lo juga,” Rivan meletakkan dua benda itu di atas meja, “kunci mobilnya di Pak Hermanto.”
“Thanks,” jawab Aldi sambil mengenakan kembali tuksedonya.
“Nelponin lo daritadi kayak orang goblok. Baru sadar HP lo ada di tas gue. Silent mode, lagi.”
“Bukan lagi kayak. Lo emang goblok,” sahut Aldi.
“Gue udah menduga lo ada di sini. Untung ada Mas Badrul yang ngangkat telepon pantry. Ya nggak, Mas?” Rivan mengangkat kepalanya, meminta persetujuan.
Badrul yang tengah mencuci peralatan makan menoleh. Dia mengangguk segan, lalu kembali lagi ke pekerjaannya semula.
“Mas Badrul ini anak baru, Di.”
“Tahu.”
“Tadi gue sempet ngobrol banyak sama dia gara-gara lo molornya lama.”
Aldi yakin seratus persen, otak Badrul kini sudah porak-poranda gara-gara Rivan.
“Lo keluar duluan sana.”
“Gue diusir?”
“Kalo bisa dari kehidupan gue juga,” sahut Aldi, “udah, sana.”
Rivan ngacir ke luar. Pintu itu tertutup.
Aldi berjalan menuju Badrul. Bunyi sepatunya memecahkan suasana pantry yang hening.
Badrul tengah menata peralatan makan yang sudah dicuci. Dia akhirnya menyadari kehadiran bosnya itu. Kepalanya menoleh ke belakang.
“Terima kasih.”
“Buat apa, Pak?” Badrul membalik badannya.
“Kopi tubruknya. Enak banget. Toastnya agak gosong, tapi tetep enak. Baru pakai alatnya kali pertama, saya tahu,” Aldi tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derajat
Fiksi UmumRizaldi Rahagi Wisesa adalah seorang pengusaha sukses di umurnya yang baru dua puluh lima. Di tengah relasinya dengan banyak orang, dia menyembunyikan beberapa hal rapat-rapat, yang dia sendiri yakin suatu saat nanti akan muncul ke permukaan. Mungki...