Meski bukan hari sabtu, kantor Aldi sepi pagi itu. Seluruh karyawannya diundang untuk menghadiri resepsi pernikahan Shilah, takpeduli lapisan atas mau pun bawah. Karena searah dengan gedung resepsi, Aldi dan Rivan menyempatkan diri ke kantor untuk sekadar mampir. Mereka duduk-duduk tanpa tujuan di pos satpam. Rivan tengah mengubek-ubek isi laci, entah apa yang dia cari.
“Kemarin Shilah seneng banget tahu,” kata Rivan dengan nada bahagia, “dia cerita banyak ke gue.”
Aldi menatapnya sok curiga, “lo cekokin, ya?”
“Sembarangan,” Rivan memutar mata, “Tery, tuh. Gue nggak ada ikut-ikut.”
Aldi terkekeh, “ya baguslah kalau dia seneng.”
Rivan mendudukkan diri di kursi. Tangannya meraih sebotol air mineral yang tadi dia bawa. Dia minum sedikit sebelum angkat bicara lagi.
“Edo tuh temen kuliahnya, Di. Mirip sama lo, katanya.”
“Nobody’s exactly the same,” Aldi mengangkat bahu, “gue punya pikiran bagus soal itu, sih.”
Rivan mengangkat kepalanya sedikit sebagai tanda persetujuan. Dia membuang botol yang isinya tinggal sedikit itu setelah meremasnya. Tangannya lalu menepuk bahu Aldi, “itu kayak Mas Badrul, deh.”
“Mana?” tanya Aldi.
“Tuh, yang lagi duduk-duduk di sana,” Rivan menunjuk ke arah bangku yang ada di kanan depan kantor. Aldi memicingkan matanya, mendapati sosok berjaket merah yang ada di sana. Dia berdiri dan melangkah ke lokasi. Rivan mengekor di belakang.
“Drul!” panggilnya.
Pria itu mendongak. Memang Badrul, ternyata.
“Pak,” Badrul beranjak dari bangku, menyambut kedua pria itu, “kok sepi, ya? Kantornya dikunci, pula. Ada apa?”
“Hari ini libur, Mas. Ada nikahannya Shilah. Semua diundang, kok. Mas Badrul ngapain di sini?” balas Rivan.
“Saya nggak tahu,” gumam Badrul sambil meraba tengkuknya.
“Yah,” desah Rivan, “ya udah, Mas, ikut kami aja. Tadi sebenernya kami lagi perjalanan ke sana, terus mampir sebentar di sini.”
“Eh? Makasih Pak,” tolaknya, “saya nggak datang nih kayaknya.”
“Mas Badrul nggak menghargai undangannya, dong?” rengek Rivan.
“Bukan gitu,” ralat Badrul, “pakaian saya kayak gini,” Badrul membuka jaket dan menunjukkan seragamnya.
“Nggak masalah. Dipakai aja jaketnya kalau mau,” Aldi mengangguk.
Betul. Nggak ada masalah sama sekali. Badrul kelihatan tampan seperti biasa. Ralat, nggak seperti biasa. Setelah sempat nggak melihat wajahnya selama beberapa hari, dia malah kelihatan lebih tampan. Nah, jadi, mananya yang masalah?
“Bapak duluan aja, monggo. Nanti saya nyusul.”
“Bener?” tanya Aldi.
“Iya, Pak.”
“Nanti kalau nggak lihat Mas Badrul di sana, saya apain enaknya?” tantang Rivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derajat
General FictionRizaldi Rahagi Wisesa adalah seorang pengusaha sukses di umurnya yang baru dua puluh lima. Di tengah relasinya dengan banyak orang, dia menyembunyikan beberapa hal rapat-rapat, yang dia sendiri yakin suatu saat nanti akan muncul ke permukaan. Mungki...