Sebelum Pandangan Pertama

15.9K 652 46
                                    

Suara sepatu yang mencium lantai itu memecah kesunyian lorong di lantai tiga belas. Sosok laki-laki berkacamata dengan bingkai tebal tampak sibuk menenteng map-map coklat yang agak banyak jumlahnya. Seharusnya, ini bukan tugasnya, namun sang pegawai yang bertugas berhalangan hadir.

Setibanya di ruangan kerja satu-satunya di lantai tiga belas, Alif mengetuk pintu. Sejenak kemudian, tanpa menunggu balasan apapun, ia masuk ke dalam.

Atasannya tengah berada di balik meja, terpaku dengan sesuatu di atasnya. Dibalut dengan setelan tuxedonya yang harganya mungkin tak kurang dari tiga kali lipat gajinya. Fisiknya berkebalikan dengan sang pengantar amplop. Dia tinggi, kurus, dan takberkacamata.

“Pak Aldi, surat lamaran,” Alif mengatur napasnya dengan susah payah sebelum melanjutkan kalimatnya, “ ... lagi.”

Tanpa melirik sedikitpun pria yang dipanggil ‘Pak Aldi’ itu menjawab, “ya, taruh saja di sana. Nanti saya baca.”

Alif mengangguk, lalu undur diri dari ruangan itu tanpa menimbulkan suara sama sekali.

Aldi melirik pintu bertepatan dengan benda itu ditutup. Setelah berusaha menahan tawanya sejak tadi, akhirnya meledak juga. Alif memang paling hebat kalau soal sandiwara.

Mereka bukannya tidak dekat satu sama lain. Alif sahabatnya dari awal masuk kuliah. Tapi gaya mereka yang biasanya slengean langsung berubah seratus delapan puluh derajat ketika sedang di kantor.

Sepeninggal Alif, Aldi beranjak dari kursi yang didudukinya. Kakinya melangkah mengelilingi ruangan. Tiba-tiba ada urge untuk mengamati beberapa sudutnya.

Ruangan inilah yang menemani dia yang kadang terkantuk-kantuk di sini sampai malam. Ruangan yang menurutnya sangat cozy. Ruangan yang dia desain dan rancang sendiri.

Ruangan itu tidak memiliki kesan modern dan cukup besar untuk satu orang. Dindingnya dilapisi flock beludru motif layang-layang berwarna putih tulang yang saling dibatasi oleh garis tosca, serta di dalamnya ada titik tosca pula.

Beberapa bagian dinding ditutupi lukisan-lukisan menarik yang dia kumpulkan dari beberapa seniman. Langit-langitnya pun berwarna putih tulang. Ruangannya berpintu single door berwarna dark mahogany. Agar lebih nyaman, Aldi melengkapi lantainya dengan karpet beludru berwarna hitam.

Ada dua rak buku di dalam ruangan. Keduanya berwarna dark mahogany, senada dengan pintu ruangan. Satunya di belakang sebelah kanan mejanya, satunya lagi di dekat pintu. Ada sofa putih tulang yang diletakkan takjauh dari rak buku pertama. Memang untuknya, agar dia bisa ongkang-ongkang saat sedang membaca.

Aldi memang sangat tertarik pada bangunan. Dia dulunya ingin jadi arsitek, malah. Waktu SMA, Aldi banyak belajar tentang desain eksterior maupun interior. Meski ujung-ujungnya melanjutkan kuliah di bidang manajemen bisnis, dia dapat menguasai keduanya dengan baik.

Aldi tidak pernah sekalipun menyesal karena takmengejar impiannya. Oh, mungkin pernah waktu awal kuliah. Sekarang, barang sedetikpun tidak. Seandainya dulu dia kuliah arsitek, mungkin dia tidak akan jadi seperti sekarang. Dia senang dapat menaungi orang-orang yang bermimpi seperti dirinya dulu. Tidak ada yang ia sesali sedikitpun.

Langkah Aldi berhenti di pojok ruangan. Dia melirik ke bawah melalui jendela, mendapati parkiran kantor yang lebih sepi dari biasanya. Matanya beralih ke jalan raya. Saking ramainya, beberapa pengemudi motor sampai menerobos lewat trotoar.

Aldi paham betul pikiran mereka yang taksabaran itu. Macet di jalan adalah sumber dari macet yang lain. Aldi juga benci macet maka dia selalu berangkat ke kantor pagi-pagi buta. Bukannya menerobos lewat trotoar.

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang