Sebenarnya, Aldi bukan tipe orang yang mudah merindu. Kalau bukan karena bertahun-tahun absen bertemu atau dipisahkan oleh jarak beribu, bakal susah timbulnya yang namanya rindu. Bisa dilihat dari jumlah kunjungan selama setahun ke rumah orang tuanya yang bisa dihitung dengan jari meski mereka tinggal sekota.
Aldi jarang sekali merasakan rindu pada mereka. Bukannya dia durhaka. Entahlah, tapi somehow, dia memang jarang menyimpan rindu terhadap siapa pun. Meski begitu, orang tuanya pun tidak ada masalah dengan itu. Mungkin tidak mudah merindu sudah jadi bagian dari gen keluarga itu.
Tapi, kali ini lain. Badrul bisa sukses membolak-balik kepribadiannya, persis seperti yang sudah-sudah. Dari yang pasif jadi agresif. Yang dulunya hanya pendengar, sekarang turut angkat bicara. Jadi pengejar dan bukan lagi penunggu. Dari yang bukan, jadi perindu. Padahal, jarak di antara mereka remeh temeh—cuma sekian kilometer, tak sebanding dengan rasa gelisah hebat yang mampu membuat Aldi gigit jari.
Aldi melirik jam tangannya yang sudah kelebihan dua puluh menit dari waktu perjanjian mereka. Ponselnya sudah mati total karena kehabisan baterai. Dia takbisa menghubungi Badrul untuk sekadar meyakinkan bahwa dia bakal betulan datang dan teleponnya tadi bukan prank. Yang bisa dia lakukan cuma melipat tangan di depan dada sambil melirik macet di luar jendela. Jari telunjuknya menyentuh kaca, berbatasan dengan buliran air hujan akibat gerimis yang baru mulai turun.
“Kira-kira berapa menit lagi, Pak?” tanya Aldi.
“Paling cepat dua puluh, Mas,” jawab sang sopir taksi.
Aldi tahu. Mana mungkin dia tidak hapal jalan ke kantornya sehingga tidak mampu estimasi waktu? Dia cuma ingin memastikan. Masturbasi perasaan, memang benar kalau kira-kira baru sampai di sana pukul enam. Atau lebih.
Selanjutnya, Aldi cuma diam sambil memperhatikan persanggamaan kaca jendela mobil dengan air hujan. Saraf-sarafnya ikut bersanggama, melahirkan pikiran-pikiran yang mulai mengusik. Soal apakah Badrul masih di kantor. Tentang apakah laki-laki itu tengah kedinginan sekarang. Kalau jawaban dari pertanyaan kedua adalah ‘ya’, Aldi berharap dia sudah pulang ke rumah dan tidak repot-repot menunggunya. Aldi tidak keberatan sama sekali.
Sesampainya di kantor, langit senja sudah turun dari peraduan. Gelap ganti menyelimuti sekitar dengan suasana sedingin es berkat hujan malam itu. Matanya menyisir daerah sekitar kantor dari dalam mobil. Dia membuka pintu dan menjejakkan kakinya ke tanah, hendak berusaha mencari sosok yang dikenalnya dengan bantuan lampu temaram. Sisa hujan tadi masih mengguyur, membuat kaos Aldi jadi sedikit lembab.
Aldi menyebrang setelah membayar sejumlah yang tertera di argo. Kakinya melangkahi zebra cross setelah lampu merah berhasil mengehentikan kendaraan yang dihuni para manusia tak sabaran itu. Dia mempercepat langkahnya, berusaha sejeli mungkin mengamati sekitar.
“Pak!”
Aldi menoleh ke sumber suara. Badrul ditemukannya tengah berada dibalik banner usang warkop dengan mengenakan jaket merahnya. Tangan kirinya bersembunyi di jepitan ketiak sementara tangan kanannya mengangkat lepek yang sudah berisi sedikit kopi. Dia urung minum dan meletakkan benda itu. Sebelum Badrul yang sudah beranjak itu sempat melangkah ke arahnya, Aldi sudah sampai di sana duluan.
“Sorry lama,” ujar Aldi sesampainya di sana. Dia menempati spot kosong di samping kanan Badrul.
Badrul menggeleng, “kopi?”
“Boleh.”
“Kopi,” ujar Badrul pada sang pemilik warkop. Tangan kanannya mengacungkan telunjuk.
“Tolong bilangin, jangan banyak-banyak gulanya.”
“Ini aja udah nggak banyak kok, Pak,” Badrul mengibaskan tangannya dengan muka masam, “pahit.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Derajat
General FictionRizaldi Rahagi Wisesa adalah seorang pengusaha sukses di umurnya yang baru dua puluh lima. Di tengah relasinya dengan banyak orang, dia menyembunyikan beberapa hal rapat-rapat, yang dia sendiri yakin suatu saat nanti akan muncul ke permukaan. Mungki...