Pantry

5.5K 390 42
                                    

Ketika membuka mata, yang kali pertama Aldi lihat adalah langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Saat terduduk di kasur, matanya menangkap sebuah botol yang dia yakin seratus persen kalau isinya tequilla. Sebuah kertas kecil diletakkan takjauh dari sana.

Nih, diminum obatnya. Biar cepat sembuh.

Tulisan itu dicoret.

Rivan goblok. - Alif

Cepet sembuh, Di! - Tagi Ganteng

Botol tequilla itu tidak disentuhnya sekarang. Rencananya, kalau dia bertemu mereka besok, dia akan pakai itu untuk menghantam kepala mereka satu-persatu.

Aldi tidak terlalu ingat apa yang terjadi semalam. Yang dia ingat kali terakhir ... Badrul, bak sampah serta baunya agak busuk, dan angin malam yang sepoi-sepoi. Sama sekali tidak tahu bagaimana dia bisa pulang dan bangun-bangun sudah di atas ranjang. Bahunya terangkat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat.

Aldi beranjak dari tempat tidurnya. Tangannya memencet tombol on pada remot TV. Lampu merah kecil di bagian pojok bawah TV berganti menjadi hijau. Seketika bunyinya menggema di seluruh ruangan.

Tangan Aldi meraih handuk biru dongker yang tergantung lalu masuk ke kamar mandi. Tanpa menutup pintu, agar dia bisa mendengarkan berita pagi yang tengah dibacakan.

Selamat pagi. Semoga hari senin anda menyenangkan.”

Aldi hampir saja tersedak air yang dia gunakan untuk berkumur.

“HARI SENIN?!” teriaknya panik.

Aldi mencari ponselnya. Namun sudah dicari di seluruh penjuru kamar pun, nihil.

Shit!”

Untungnya Aldi lalu teringat kalau malam itu ponselnya tertinggal di mobil. Dia buru-buru lari ke bawah untuk mengambil kunci mobilnya. Benda itu juga tidak ada di sana. Seolah tidak cukup, mobil yang dia pakai kemarin juga tidak tampak di garasi.

Harapan terakhirnya adalah Pak Hermanto. Sayangnya, sopirnya itu juga tidak ada di mana pun. Aldi berlari ke ruang makan.

“Bu, tau Pak Hermanto, nggak?” tanya Aldi kepada Bu Lulah.

“Sarapan dulu, Pak,” tegur Bu Lulah sambil menyajikan semangkuk besar bubur ayam dan segelas susu untuknya di atas meja.

“Ini lagi gawat, Bu. Pak Hermanto di mana?”

“Bapak tarik napas dalam-dalam,” Bu Lulah berkata lalu mencontohkan, “lalu keluarkan pelan-pelan lewat mulut.”

Aldi melakukan sesuai yang diperintahkan.

“Sudah. Terus, mana Pak Hermanto, Bu?”

Bu Lulah memegang bahu Aldi lalu menggiringnya ke meja makan dan mendudukkannya di atas kursi, “makan dulu yang banyak. Sejak kemarin perut sampean belum kemasukan apapun.”

Aldi mengerutkan dahi. Sepertinya dia agak bisa membaca situasi

“Kalian sekongkol, ya?”

Bu Lulah tidak menjawab, namun Aldi dapat melihat wajahnya yang kini bak maling tertangkap basah.

“Hayo, iya ‘kan?”

Bu Lulah taklangsung menjawab, “Sampean habiskan dulu sarapannya, baru saya mau jawab.”

Taksampai lima menit, bubur itu sudah kandas dan kini tengah disesap lambungnya yang sedari kemarin kosong. Setelah susunya habis, dia angkat bicara.

“Pak Hermanto ke mana, Bu?” tanyanya sekali lagi.

“Ke kantor.”

“Kok tanpa saya?”

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang