Rencana

4.3K 339 30
                                    

Aldi termenung di atas kasur. Sejak tadi, dia menunggu telepon dari Findha. Findha belum juga menghubunginya untuk menanyakan dompetnya. Seandainya Aldi tahu nomer ponselnya, perempuan itu pasti sudah diteleponnya duluan sejak tadi.

Mata Aldi melirik ponselnya yang tergeletak di dekat lampu tidur. Layarnya tiba-tiba menyala. Tangan Aldi meraih ponselnya. Telepon masuk dari nomer takdikenal. Dia mengangkatnya sambil tengkurap di atas kasur.

“Halo.”

“Zaldi?” tanya suara di seberang dengan suara cemas.

“Findha, kan?”

“Betul,” suara Findha gelisah, “maaf ganggu malem-malem begini. Ini darurat. Kamu tahu dompetku?”

“Ya. Ada di aku. Tadi ketinggalan di kafe.”

“Syukurlah,” kata Findha lega, “makasih banyak. Aku ambil besok, ya.”

“Aku kirim ke alamatmu aja, gimana?”

“Jangan, ribet. Lagipula, besok ‘kan kita ada appointment,” sahut Findha, “perusahaan kita maksudnya. Jadi sekalian aja.”

“Oh, ya?” Aldi menggaruk tengkuknya. Perhatiannya belum kembali fokus ke urusan kantor.

“Makasih banyak, Di.”

Tiba-tiba terbesit di pikiran Aldi untuk bertanya soal status perempuan itu, namun dia urung. Dia merasa tidak seharusnya ikut campur.

“Kok belum diputus?” tegur Findha.

Aldi merebahkan dirinya di atas kasur. Pertanyaan Aldi mengabur, bertransformasi jadi helaan napas, “dah, Fin.”

Night, Di.”

Setelah memutus panggilan, Aldi meletakkan ponsel itu ke tempatnya semula. Dia lalu memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Namun, sudah sepuluh menit dia membolak-balikkan badannya, dia tidak kunjung terlelap.

Aldi akhirnya malah termenung lagi. Matanya menatap langit-langit. Bukannya dibuai mimpi, dia malah terjaga karena dibanjiri oleh pertanyaan tentang status pernikahan Findha.

Kenapa Findha seolah menyembunyikan statusnya? Apakah Findha takingin dia tahu soal itu? Tapi, mengapa?

Aldi menepis pikiran negatifnya. Mungkin dia hanya belum memberi tahu Aldi. Mungkin dia menganggap itu sebagai hal yang takperlu untuk dibicarakan atau privasi. Aldi harus menghormati.

Atau mungkin, Findha masih canggung karena sudah lama tidak bertemu. Mungkin saja begitu. Siapa tahu dia akan memberitahu Aldi besok.

Aldi menghela napas. Jawaban menggantung itu setidaknya dapat mengobati sedikit rasa penasarannya. Taklama setelah itu, dia terlelap dengan dahi yang masih berkerut.

***

Seusai sarapan pagi itu, Aldi memasuki mobilnya yang sudah siap di depan. Pak Hermanto yang ada di dalamnya langsung tancap gas tanpa mengucapkan apapun.

“Pagi,” celetuk Aldi.

“Eh, pagi, Pak,” balas Pak Hermanto terbata-bata.

Pak Hermanto mulai menjalankan mobilnya. Kendaraan itu keluar dari pekarangan rumahnya. Aldi menangkap gelagat yang aneh dari sopirnya itu. Sepertinya dia tahu penyebabnya.

“Ah, soal kejadian kemarin, ya?” tebak Aldi, “nggak apa-apa. Saya nggak marah.”

“Bener, Pak?” tanya Pak Hermanto dengan takut.

Aldi balas mengangguk, “saya terima kasih, malah. Saya akui kalian kreatif. Walaupun saya lebih kreatif karena bisa bebas dari jerat yang kalian ciptakan.”

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang