Siang itu, Aldi tengah menunaikan jam istirahatnya bersama yang lain. Matanya melirik kerumunan dadakan yang dibentuk oleh keempat rekan wanitanya. Barusan, Nita berteriak heboh karena Shilah betulan pergi ke London untuk bulan madu. Mereka mengelilingi perempuan itu sebagai thread starter yang duduk di salah satu penjuru.
“Anjir, anjir, anjir,” Nita terus berucap macam orang zikir. Jarinya sibuk meng-scroll foto-foto kiriman Shilah, “pengen.”
“IS THAT FREAKING BIG BEN?” pekik Atha.
Sementara itu, Aldi tidak peduli barang sedikit pun. Dia membisu dengan lesu. Es bubur kacang hijau yang sudah terlanjur dia pesan enggan dia sentuh. Sejak tadi, bawaannya selalu ingin tidur. Kepergian Shilah benar-benar membuatnya exhausted karena harus menandangi sendiri jadwalnya yang penuh.
“Kalau kalian end-up sama proletar-proletar model gini sih,” Tery memicingkan mata dengan picik pada lelaki itu satu per satu kecuali Aldi, “say good bye aja sama mimpi kalian.”
Tagi berdecak, “proletar teriak proletar. Bagus.”
“Padahal destinasi domestik juga nggak kalah oke,” bela Aldi, “kita mau jalan-jalan juga kan, Lif?” dia menaikkan-turunkan kedua alisnya, meminta persetujuan dari pria itu.
“Nu gelo,” tuding Nita, “mau ke mana kalian?”
“B to the A to the L to the I,” eja Alif dengan nada bangga, “B-a-l-i. Bali.”
“Berdua aja?” tanya Atha dengan nada curiga.
Aldi mengangguk, “nanti berangkat,” lanjutnya. Dia merangkul Alif yang juga merangkulnya balik.
Made menutup mulutnya. Dia tertawa tertahan, “kalian mau bulan madu juga?”
“Bulan madu nggak, Lif?” goda Aldi.
“Dasar,” Tery berdecak, “LGBT.”
“Apa, Ter? Lagi bete?” canda Rivan.
“Aku yang bete,” sahut Atha duluan, “kok kalian jadi homo, sih?”
Aldi menyunggingkan senyum pahit.
“Yang penting nggak sama proletar. Ya nggak, Lif?” tawa Robin.
“Ho’oh,” jawab Alif, “kapitalis nomer satu, kelamin nomer dua,” ujarnya mantap, disusul tawa yang lainnya.
Di tengah-tengah tawanya, Aldi menyunggingkan senyum pahit jilid dua.
“Mereka tuh kerja,” tegas Rivan, “nggak usah siriklah. Paling-paling ke Bali cuma dapet capeknya doang.”
“Awas aja sampai gue bisa seneng-seneng, ya,” Alif meliriknya sebal.
“Di, boleh titip susu, nggak?” sela Rivan, “sorry. Pie susu, maksudnya.”
“Ngapain jauh-jauh? Minta Nita aja,” sahut Robin.
“Jangan, Van. Punya aku nggak ada,” geleng Nita, “punya Robin aja. Gede. Dapet banyak jatahnya.”
“Mampus,” tawa Tagi, “bercanda tuh jangan sama Nita, Bin. Bisa-bisa dibalik abis-abisan lo.”
“Udah, balik sana kerja,” Aldi mengipaskan selembar kertas di depan wajah Tagi yang duduk paling dekat dengannya, “istirahatnya udah mau kelar.”
“Kan baru mau. Belum juga kelar,” protes Tagi.
“Jalan ke kantor aja udah lebih dari lima menit. Mau ngeles apa lagi, ha?”
“Yah, saran gue sih, jadi bos jangan ketat-ketat kayak celana boyband,” ujar Alif, “kalau mati nggak lompat sendiri ke kuburan, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Derajat
General FictionRizaldi Rahagi Wisesa adalah seorang pengusaha sukses di umurnya yang baru dua puluh lima. Di tengah relasinya dengan banyak orang, dia menyembunyikan beberapa hal rapat-rapat, yang dia sendiri yakin suatu saat nanti akan muncul ke permukaan. Mungki...