Pagi itu, Aldi tengah duduk di ruangan kerjanya. Matanya menatap sendu jalanan, pelarian favoritnya kalau sedang risau. Bibirnya sedang menyesap kopi yang belum lama diletakkan di atas meja. Cuma kopi hitam biasa, bukan kopi tubruk seperti yang biasa dibuatkan Badrul untuknya.
Setelah hari itu, Aldi belum mengobrol lebih dalam lagi dengan Badrul. Aldi sibuk digiring ke sana ke mari oleh bisnis ulahnya sendiri. Paling-paling mereka cuma berpapasan sekilas kalau Aldi sedang beruntung. Saat Aldi usai bekerja waktu petang dan ingin mengajaknya ngobrol, jaket merah itu sudah lenyap dari gantungan pantry lantai tiga.
Pagi ini pun seperti pagi-pagi yang dilaluinya akhir-akhir ini, Aldi sebenarnya sedang in a rush. Walau begitu, dia tetap menyempatkan diri untuk menjalankan ritualnya dengan khidmat, yaitu minum kopi. Benda itu bak starter yang wajib dia lalui sebagai pemanasan agar harinya berjalan mulus. Maka dari itu, sesibuk apa pun, dia pasti akan tetap menyesapnya tiap pagi.
Pikiran Aldi tengah melayang ke Badrul lagi saat ini. Padahal, pembuat kopi ini Pak Tomo yang notabenenya orang lain, bukan Badrul. Ini juga bukan kopi tubruk sedap racikannya yang biasa Aldi konsumsi, melainkan kopi sachetan yang Aldi bahkan tidak tahu mereknya apa. Pun takada hubungan emosional antara dia, Badrul, dan kopi sachetan yang tengah dia minum sekarang.
Semenjak pertemuan pertama mereka di Méala, saat minum kopi, pikiran Aldi selalu terpusat ke Badrul, takpeduli siapa pembuatnya dan apa jenis kopinya. Awalnya terasa aneh karena perutnya serasa digempur ribuan kupu-kupu. Bukan saja dia sekadar merasa tidak nyaman, namun rasanya lebih dari itu. Lalu, sesap demi sesap, dia sadar akan sesuatu.
Selain kopi yang mengusung kenangan pada saat setiap lidahnya mengecap, Aldi sadar akan adanya racun yang lebih kuat pada setiap pompaan darahnya. Dia yakin betul kalau racun itu yang memperparah kerja kafein pada tubuhnya. Racun yang sukses menunda tidurnya tiap malam, membuatnya tiba-tiba bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan pujaan hati. Mengakibatkan dia terjaga berjam-jam nyaris sampai pagi, cuma untuk menertawakan soal lucunya tempo hari.
Racun itu, Aldi yakin, adalah yang selama ini orang-orang juluki dengan sebutan cinta.
Sejak sebelum pandangan pertama, Aldi jatuh cinta kepada Badrul. Alisnya yang tebal dan agak panjang. Matanya yang bold namun pandangannya lembut. Pipinya yang dihiasi kerutan ketika terangkat saat bibirnya mengukir senyuman. Hal-hal itu lah dulu sukses membuatnya kepincut sampai mendatangi Badrul duluan, mengundang Badrul dan memberinya akses untuk masuk ke hidupnya, bak melewati red carpet yang tidak bisa dilintasi oleh sembarang orang.
Setelah mengenal Badrul, Aldi malah semakin jatuh cinta. Badrul yang sederhana dan apa adanya. Badrul yang pemalu dan penuh segan. Badrul yang polos namun tidak bodoh. Sikapnya yang hangat kepada semua orang. Suara tawanya yang renyah dan ndeso, yang selalu sukses menggiring pikiran Aldi jadi serasa layaknya ada di suatu gubuk di pedalaman Jawa. Damai, hangat, dan bersahaja. Kerutan di pipinya yang aslinya terlihat lebih manis dari dekat. Kopi racikannya yang bisa disandingkan dengan espresso menurut peringkat yang dibuatnya.
Ah, Aldi merasa dia betulan jatuh cinta.
Mereka memang baru saling kenal beberapa minggu yang lalu, tapi Badrul sudah terasa seperti teman lama baginya. Aldi tetaplah Aldi yang tidak suka membagi masalah pribadinya dengan orang lain meski tampangnya sudah jelas bicara. Meski begitu, setidaknya, ngobrol dengan Badrul membuatnya jadi lupa apa yang semula menyebabkan sakit kepala. Lebih dari itu, dia mendadak merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Dia tidak peduli kalau ada yang tengah bahagia juga karena menang lotre berjuta-juta sebab dia merasa menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga.
Bukannya selama ini Aldi tidak bahagia. Dia punya semuanya. Keluarga. Teman-teman yang kurang ajar namun setia dan terus-terusan membuatnya tertawa. Pekerjaan yang membuat uang mengalir takada hentinya. Dari beberapa sisi, dia jelas bahagia. Dan kali ini, sumber kebahagiaan lain yang berbeda tengah menghampirinya, menggenapi ruang-ruangnya yang masih ada celah, membuatnya merasa jadi sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derajat
General FictionRizaldi Rahagi Wisesa adalah seorang pengusaha sukses di umurnya yang baru dua puluh lima. Di tengah relasinya dengan banyak orang, dia menyembunyikan beberapa hal rapat-rapat, yang dia sendiri yakin suatu saat nanti akan muncul ke permukaan. Mungki...