S a t u

4.5K 127 28
                                    

S a t u

Gadis itu membuka bungkus permen karet dan memakan isinya. Memakan permen karet adalah kebiasaannya. Setelah membuang bungkus itu kedalam tempat sampah, dia kembali memakai earphones nya dan menjalankan skateboard yang dia bawa.

Dia membelokkan skateboard nya ke pekarangan rumahnya, dilihatnya ada mobil yang entah milik siapa dia tidak perduli. Terlalu malas untuk peduli.

Dia membuka pintu dan mengeluarkan ponselnya, memainkannya tanpa melihat sekeliling. Ia tidak menyadari jika di ruang tamu sedang ada tamu, ia terus berjalan dengan tenang, sampai sebuah bantal menghantam kepalanya, "Aduh," Dia menolehkan kepalanya.

Tatapan melotot dari Bundanya langsung menusuk mata Jihan, "Eh Bunda," Jihan tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya, "Kenapa Bun?," Dia memicingkan matanya, mencoba membaca gerak mulut Bundanya, "Hah? Apa Bun?"

Bundanya mengisyaratkan agar Jihan melepas earphones yang sedang dia pakai, Jihan menepuk keningnya, "Oh iya lupa,"

Jihan melepas kedua earphonesnya, "Kenapa Bun?"

"Sini,duduk dulu" Bunda menepuk sisi kanan sofa yang dia duduki, persis didepan seorang laki-laki yang Jihan tidak tau siapa. Jihan mengayunkan kakinya kesofa dan duduk disamping Bunda. Dia mengamati laki-laki yang ada didepannya sekilas, lalu beralih pada seorang wanita yang sudah terlihat berumur, mungkin ibunya, "Ini Ghifar," Jihan melihat kearah laki-laki tadi, dia tersenyum. Mungkin jika wanita lain yang melihatnya akan langsung terpesona, beda dengan Jihan. Dia terlihat biasa-biasa saja. Jihan membalas senyum laki-laki itu kecil, "Yang ini Tante Natasha, mamanya Ghifar," Kali ini Jihan benar-benar tersenyum dan menganggukkan kepalanya sopan. Bagaimana pun dia harus tetap sopan pada yang lebih tua. Tante Natasha membalas senyum Jihan, manis.

"Terus kenapa Bun?," Jihan masih tidak mengerti dengan ini.

"Kamu mau bunda jodohin,"

Mata Jihan langsung membulat dengan sempurna, dan sedetik setelahnya Jihan tersedak. Dia memukul-mukul dadanya, beberapa detik setelahnya dia berhenti, "Yah Bunda," Dia menepuk keningnya.

Dahi bundanya mengerut, "Kenapa?"

"Permet karetnya ketelen! Bunda sih ah,"

Bunda memutar matanya jengah, "Kamu tuh, ini lagi serius"

Jihan mendengus, "Ish, Bunda pikir tadi gak serius apa? Kan bahaya Bun! Kalo Jihan mati gimana? Kan gak lucu Bun kalo besok pagi ada berita dikoran 'Seorang Gadis Mati Karena Keselek Permen Karet' " Ghifar dan Tante Natasha mengulum senyum mereka.

Bunda mencubit lengan Jihan, dia meringis, "Kamu tuh kalo didepan tamu kalem dikit kenapa sih? Bikin malu aja! Apa lagi didepan calon suami kamu,"

Kedua alis Jihan bersatu, "Jadi Bunda serius? Ish Bunda, emang Jihan kucing apa main dijodoh-jodohin aja! Gak gak! Gak mau," Jihan beranjak dari duduknya, dia melirik Ghifar sekilas dengan sinis, lalu beralih melihat Tante Natasha, "Maaf tante, tapi Jihan gak mau. Lagian punya menantu kaya Jihan gak bakal berguna tante. Jihan aja gak bisa masak. Yang ada anak tante kelaperan terus kurus kalo nikah sama Jihan," Dia membungkukkan badannya sopan, "Jihan permisi," Dia berjalan cepat kearah kamarnya.

Bunda menatap Tante Natasha menyesal, "Duh Nat, maafin anak gue ya. Ya lu kan tau sifat dia gimana. Lagian apa yang dia bilang bener kok, punya menantu kaya dia emang gak berguna. Goreng telor aja kulit telornya masuk kewajan," Tidak ada nada canggung atau malu dalam ucapan Bunda. Karena memang Bunda dan Tante Natasha sudah berteman cukup lama. Hanya saja Bunda belum sempat memperkenalkan Tante Natasha pada Jihan. Tetapi, baik Bunda dan Tante Natasha tau bagaimana sifat dan kelakukan anak-anak mereka. Efek sering curhat.

"Ya gimana ya, si Ghifar nih emang pengen banget nikah sama Jihan. Gue sebagai Ibunya cuman bisa dukung. Dan soal kelaperan, biarin aja lah. Mereka ini yang kelaperan," Ghifar memutar kedua bola matanya jengah mendengar kata-kata yang dilontarkan Ibunya. Ibunya dan Bunda Jihan memang tidak seperti orang tua pada umumnya. Mereka seperti bukan orang tua bagi Jihan maupun Ghifar. Lebih mirip sahabat menurut mereka. Dan meski mereka sudah cukup berumur, tapi mereka masih bisa dibilang gaul.

Bunda terkekeh, "Yaudah, nanti coba gue omongin lagi deh ke anaknya, lusa balik lagi aja," Mereka semua bangkit dari sofa.

"Iya deh, lagian juga gue banyak kerjaan di butik. Yaudah gue pamit ya," Tante Natasha mencium pipi kanan dan pipi kiri Bunda. Ciri khas tante-tante. Ghifar mencium tangan Bunda.

"Harus sabar ya kalo nanti emang jadi nikah sama Jihan," Bunda terkekeh.

"Haha, iya tante" Ghifar ikut tertawa kecil.

Mereka berjalan menuju pintu, setelah Ghifar dan Tante Natasha meninggalkan pekarangan rumah, Bunda menutup pintu dan masuk kedalam, tepat setelah Bunda berbalik, ia langsung melihat Jihan dengan wajah yang kesal, "Yaampun, sejak kapan kamu disitu?"

"Bunda, Jihan mau ngomong,"

"Yaudah ngomong aja," Bunda berjalan menuju kedapur, melewati Jihan.

"Bunda serius mau jodohin Jihan?"

"Iya serius," Bunda mengambil gelas dan menuangkan air ke gelas.

"Ish Bunda, ngapain sih segala pake gitu-gituan? Kaya Jihan gak laku aja. Lagian Jihan kan masih umur 22 tahun Bunda. Jihan juga masih kuliah," Jihan merengek.

"Kalo kamu laku, harusnya dari kapan tau udah punya pacar terus kamu kenalin ke Bunda," Bunda meneguk air yang tadi ia ambil.

"Ish, selama ini kan Jihan males nyari aja Bunda,"

"Nah, sekarang kamu gak usah capek-capek nyari. Udah ada didepan mata," Bunda menyenderkan tubuhnya ke mini bar.

"Bunda ih. Lagian Jihan masih 22 tahun Bunda. Masih muda, masa iya udah nikah aja,"

"Anak perempuan tuh harus nikah secepatnya, kalo kelamaan gak baik," Jihan merasa gemas sekarang.

"Terus kuliah Jihan?" Jihan menghampiri Bunda dan ikut menyenderkan tubuhnya.

"Ya emang kenapa? Boleh kan kuliah meski udah nikah? Masalahnya dimana?" Bunda terkekeh, "Lagian Bunda heran, kamu kenapa sih ogah-ogahan banget nikah sama Ghifar? Dia kurang apa coba? Udah ganteng, mapan, baik, sopan, pinter, ibadahnya juga rajin,"

"Ih Bunda tuh gak ngerti. Udah ah, males ngomong sama Bunda," Jihan mendengus dan pergi kekamarnya.

Bunda terkekeh dan menggeleng kecil, "Dasar,"

A/n:

Ini part pertamanya:v gimana2?:v

masih keliatan yaa kacangannya?:v

Iyaa gue tauu;'v tapi kedepannya gue usahain buat ngilangin kacangannya:v

Oke segitu aja sih:v jangan lupa vomments;)

With love, as always.

M.

As AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang