S e m b i l a n

2K 64 7
                                    

S e m b i l a n

Ghifar menghembuskan napas berat. Dia melirik arlojinya, sebentar lagi langit akan gelap. Kemungkinan besar dia akan tiba dirumah Jihan saat malam. Dia mulai mengutuk dirinya yang menaruh mobilnya di rumah Jihan. Padahal jika dia menaruhnya dirumahnya, dia tidak perlu repot-repot begini.

Dia kembali menghembuskan napas berat. Ini masih jauh. Kakinya sudah mulai sakit. Niatnya yang ingin mengistirahatkan kakinya sebentar batal karena melihat seorang gadis diujung jalan. Dia terlihat sedang memainkan-- acul. Jihan? Itu Jihan?

Ghifar mempercepat langkahnya.

Dia terkejut bukan main karna memang Jihan lah yang dia lihat. Sedang apa dia disana?

"Han?" Ghifar berhenti beberapa langkah dari tempat Jihan.

Jihan mendongakkan kepalanya. Tatapan sinis langsung Ghifar dapatkan. "Lo cowok kan?"

"Mau bukti?" Ujung bibir Ghifar tertarik keatas.

Jihan mendengus. "Lelet banget sih! Buruan ayo. Udah capek nih"

"Eh Han! Skateboard nya gausah dipake lagi."

Sebelah alis Jihan tertarik ke atas. "Kenapa?"

"Nanti-- gua ketinggalan lagi." Suaranya kian mengecil.

"Lo gak bisa naik skateboard ya?" Jihan berkacak pinggang.

"Gak.."

"Astagfirullah... Cowok macem apa sih lo"

"Yang penting gua ganteng." Jawab Ghifar santai.

Jihan jadi teringat satu fakta. Bunda pernah bilang, jika Ghifar adalah pria yang pendiam. Dia tidak bisa membuka percakapan. Cenderung irit bicara, simple dan tidak bisa membuat lelucon. Anehnya, hampir setiap mereka bertemu, Ghifar lah yang berbicara lebih dulu. Tapi untuk bagian 'tidak bisa membuat lelucon' Jihan setuju. Dia--garing.

"Yaudah ayo jalan. Udah malem nih" Ghifar berjalan mendahului Jihan.

"Kita pulang malem gini juga gara-gara lo! Nyusahin aja sih." Jihan mencibir.

Sudah 15 menit mereka berjalan. Dan selama 15 menit itu pula tidak ada yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana yang sunyi semakin membuat rasa sakit dipergelangan kaki Jihan semakin terasa. Dia mendesis beberapa kali. Ghifar yang baru menyadari itu mengalihkan pandangannya menatap Jihan.

"Kaki lo sakit?"

"Gak"

"Yaudah" Ghifar kembali berjalan dengan santai.

'Lah? Gitu doang? Kok dia gak peka sih. Gak tau apa nih kaki sakit. Kok gak ngajakin istirahat sih. Kok gak nanya lagi sih. Kok dia jadi begini sih. Kek sok jual mahal gitu. Sok sok cool gitu. Padahal kemaren-kemaren dia nunjukin banget kalo dia demen ama gue. Sekarang kok kaya ditahan-tahan gitu sih. Kok jadi berubah. Ih kok gitu sih' Batin Jihan menggerutu.

Ekor mata Ghifar sesekali melihat kearah Jihan. Dia jelas tau kaki Jihan sakit. Melihat wajah Jihan yang ditekuk begitu Ghifar yakin kakinya semakin sakit.

Ghifar berjalan mundur kearah Jihan. Mengangkat tubuhnya dan menggendongnya ala bridal style. Mata Jihan sontak membulat setelah menyadari apa yang Ghifar lakukan.

"Ghifar lo ngapain sih? Turunin gak!" Jihan mulai rewel.

"Diem deh. Kaki lo sakit kan, gak mungkin lo jalan lagi. Kaki lo yang emang udah bengkak nanti jadi tambah bengkak."

Jihan mendengus, lagi-lagi Ghifar menunjukkan sikap itu. Dingin. Kenapa dia tiba-tiba berubah? Dia bahkan hanya butuh beberapa detik untuk merubah sikapnya waktu itu menjadi seperti sekarang ini. Beberapa menit lalu dia masih Ghifar. Berbicara dengan suara lembut dan tatapan yang hangat. Tapi sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Suaranya datar, tatapannya juga datar.

Yah, sebenarnya Ghifar baru menyadari satu hal. Salah satu hal penting dalam sebuah hubungan adalah dengan menjadi diri sendiri. Biarkan pasanganmu menyukaimu karna itu adalah dirimu. Jangan paksakan dirimu menjadi pasangan yang sempurna. Karna tidak ada yang sempurna di dunia ini. Pribadi yang banyak bicara, humoris, itu bukan Ghifar. Dingin tapi peduli, tidak bisa bergurau, dan tidak romantis adalah pribadi aslinya. Ghifar pernah berpikir akan mengubah sikapnya. Tapi Ghifar sadar itu tidak benar. Mulai saat ini, Ghifar akan membuat Jihan jatuh cinta dengannya karna itu dia. Bukan dia yang sedang berpura-pura menjadi pria lain.

"Ya, maksud gue gendongnya jangan gini juga. Malu" Suara Jihan kian mengecil.

"Oh yaudah." Ghifar menurunkan Jihan dan berjalan kearah depan. Berjongkok didepan Jihan. Dengan ragu, Jihan naik kepunggung Ghifar dan membiarkannya menggendongnya. Dia sudah tidak sanggup untuk berjalan lagi.

Sepanjang jalan, hening. Jihan yang merasa bosan, akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan.

"Ghi, gue mau nanya"

"Nanya apa?"

"Buat apa lo ngelamar gue direstoran waktu itu? Padahal lo udah tau kalo gue bakal tetep jadi istri lo tanpa lo harus ngelakuin itu. Dan, telat. Harusnya kan dilamar kaya gitu pas sebelum ngurus pernikahan. Ini udah ngurus, baru ngelamar."

"Agak aneh emang. Tapi yang gua denger-denger, perempuan suka dilamar kaya gitu. Meskipun telat, seenggaknya gua udah berusaha bikin lo seneng."

Jihan hanya bergumam sebagai jawabannya.

Setelahnya hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak terasa Ghifar sudah berjalan selama setengah jam sambil menggendong Jihan. Ghifar sangat lelah. Kakinya sangat sakit karna berjalan terlalu lama tanpa istirahat. Terlebih lagi, Ghifar harus menanggung berat badannya Jihan. Jihan tidak ringan. Rumah Jihan tinggal beberapa meter lagi. Ghifar menolehkan kepalanya kebelakang. Jihan tertidur. Ah, bahkan Ghifar tidak sadar jika Jihan merebahkan kepalanya di punggungnya.

Wajah polos Jihan saat tertidur membuat senyum terukir dibibir Ghifar dengan sendirinya. Satu hal, Ghifar menyadari satu hal. Bagaimanapun sikap Jihan padanya, sebanyak apapun penolakan dari Jihan, Ghifar tidak akan menyerah. Dia mencintainya. Ah tidak. Dia tergila-gila padanya.

Ghifar mengetuk pintu rumah Jihan menggunakan kakinya. Beberapa detik setelahnya wajah Bunda yang terkejut menjadi pemandangan pertama yang Ghifar lihat. Bunda mengisyaratkan agar Ghifar masuk dan menaruh Jihan dikamarnya.

Setelah menaruh Jihan di kamarnya, Ghifar berjalan turun menuruni tangga.

"Ghifar, makasih ya udah nganterin Jihan pulang. Digendong segala lagi" Bunda tersenyum.

"Iya Bunda. Oh iya Bun, Ghifar langsung pulang aja ya, mau istirahat."

"Oh yaudah. Hati-hati ya Ghifar" Ghifar mengangguk kemudian menyalami tangan Bunda.

Ghifar berjalan kearah mobilnya dan membuka kuncinya. Dia menyenderkan tubuhnya dijok sambil sesekali memijat kakinya. Ghifar meraih ponsel disakunya lalu menekan nomor seseorang.

"Halo, batalkan meeting besok. Undur sampai lusa. Saya ada urusan mendadak." Ghifar memutuskan panggilan yang singkat itu. Jika kau ingin tau, urusan mendadak itu adalah dia ingin ke tukang urut.

Jhaa:v
Terakhirnya gaje bet:v sumpah buntu pas yang terakhirnya. So, maap kalo mengecewakan:v
Thx yg udah baca+vote+comment sampe sini:)
Sampe ketemu di chap selanjutnyaa~

With love, as always.

M.

As AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang