Prajurit Tanpa Pikiran

556 13 5
                                    

Agustus, tahun 1945.

Pedalaman Jerman, tidak jauh dari perbatasan Polandia.

Perang sudah berakhir di Eropa setelah Nazi Jerman menyerah bulan Mei kemarin. Tapi bukannya kami ditarik pulang ke tanah air tercinta, kami malah di kirim ke tempat antah berantah ini. Dan sekarang truk kami malah mogok di tengah hutan. Kami yang berjumlah satu pleton atau 30 orang ini pun terdampar di tanah terkutuk ini ....

Saat ini kami terpaksa harus menunggu bantuan, tapi seakan Tuhan belum puas mengerjai kami, kini giliran radio kami yang bermasalah karena tidak dapat menangkap sinyal. Kami benar-benar sendirian sekarang.

Dan kalaupun kami ingin jalan kaki ... nggg ... hutan ini ... ada satu kata yang langsung mampir di kepala kami saat kami melihat hutan ini.

Menyeramkan.

Seakan belum pernah disentuh manusia sekalipun, hutan ini begitu lebat nan padat, saking rimbunnya hingga cahaya matahari tidak bisa menembus daun-daun coklat musim gugurnya untuk mencapai tanah, membuat hutan ini menjadi gelap dan suram. Aku ragu jika kami bisa keluar hidup-hidup jika kami nekat mencari jalan tanpa tahu arah di dalamnya.

Dengan begitu, mau tidak mau kami harus menetap di satu-satunya ruang terbuka di hutan ini, tanah lapang yang berada di sisi kiri kanan jalan. Semoga pesawat patroli bisa melihat truk, tenda, dan asap api unggun kami ....

***

Dalam beberapa jam kami sudah membuat tempat ini layaknya rumah sendiri. Ada 3 tenda yang berdIri di sekitar truk kami, berdiri di tengah-tengah tanah lapang yang di kelilingi hutan. Beberapa dari kami sedang bermain bola, berjemur di lapangan menikmati suasana musim gugur, atau makan siang. Tapi aku dan Letnan sedang sibuk dengan radio kami ...

"Alpha? Apa kau bisa dengar kami? Masuk ...." seru Letnan ku pada microphone radio. Tapi percuma, hanya desiran statis yang kami terima.

"Aku rasa memang tidak ada gunanya Letnan, aku rasa kita memang harus benar-benar menunggu di sini," saranku pada Letnan.

"Kau yakin Sersan? Mau berkemah untuk semalam di sini? Kita akan rentan terhadap serangan musuh? Bukankah lebih baik jika kita melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja?"

"Itu bahkan akan jauh lebih berbahaya jika di tengah perjalanan saat matahari tenggelam kita belum menemukan tempat bernaung, Letnan. Lebih baik jika kita menetap di sini dulu ...."

Memotong kalimatku, teriakan anak buah kami dapat terdengar dari luar tenda, "Siapa disana?!" seru mereka. Sontak aku dan Letnan langsung keluar dari tenda.

"Ada apa ini?" tanyaku. Salahsatu anak buahku yang sudah menjinjing senapannya menunjuk ke arah hutan di seberang sana, jauh di ujung kaki langit.

Di bawah kanopi pinus dan ek, di balik kegelapan hutan, samar-samar kami bisa melihat sebuah sosok di sana. Kelihatannya seperti siluet seorang pria, hanya diam di sana, berdiri mematung memandangi kami. Sosoknya terlalu jauh untuk di lihat secara detail dengan mata telanjang. Tidak bisa dipastikan apakah ia manusia atau hewan, prajurit atau warga sipil, dan yang paling penting, apakah ia teman atau musuh ....

"Teropong ... mana teropong?" teriakku pada anak buahku. Tidak lama anak buahku langsung menyerahkan teropong binokuler padaku.

Aku hanya menoleh ke belakang sebentar kepada anak buahku, lalu saat aku kembali melihat ke arah hutan itu menggunakan teropong ... sosok itu sudah tidak ada lagi. Tidak ada tanda-tanda lagi akan keberadaannya seberapa keras pun aku mencoba menemukannya. Padahal kami baru saja melihatnya beberapa detik yang lalu. Seakan-akan yang kami lihat itu tadi hantu.

Tentang Teror Dari Negeri Di Seberang LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang