Terbangun

358 11 0
                                    

Aku terbangun dan menyaksikan sekelilingku gelap. Tidak terlalu gelap dan hanya sedikit berkas-berkas cahaya dari luar yang sesekali menyelinap. Entah bagaimana aku bisa terkapar di sini. Kepalaku sedikit berat. Otakku langsung bekerja dengan melepaskan adrenalin ke seluruh tubuh, membuatku langsung terjaga dan waspada. Situasi yang tak terduga seperti ini dapat terjadi kapan saja dan kita tak mungkin bisa menghindarinya. Hanya satu yang harus dilakuakan. Konsentrasi.

Aku ingat kalau aku mengantongi ponsel di saku celana sebelah kananku. Aku merogoh dan menemukan ponsel pintar milikku. Aku membuka kunci layar dan menatap layar ponsel. Tampak ada foto seorang perempuan yang cukup cantik seusia tak jauh dariku dan seorang anak lelaki berusia delapan tahunan, sedang menggandeng tangan si perempuan. Keduanya sedang berfoto dengan latar belakang padang rumput, pepohonan dan samar-samar nampak gunung berwarna kelabu dengan puncak salju. Mereka berdua adalah anak dan istriku. Kulihat jam di layar ponsel menunjukkan pukul satu dini hari. Apa gerangan yang terjadi?

Kreet!

Suara derit benda dari kayu berdecit. Aku bertaruh itu adalah suara pintu. Sialnya adalah mengapa harus dalam keadaan yang gelap? Suara derak ranting pohon yang saling beradu terdengar di luar. Suara angin malam yang cukup kencang menyusul kemudian. Seringnya suara derak ranting dan daun yang saling bergesekkan memastikanku kalau aku sedang berada di sebuah rumah di tengah hutan. Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi.

Terakhir kali yang kuingat, aku bersama istri dan anakku sedang makan malam bersama, setelah itu lupa. Setidaknya, aku dapat mulai mengenali tempat ini dan bersamaan dengan beberapa informasi yang kembali muncul dari dalam otakku. Aku mengetahui kini aku berada di sebuah rumah kabin di pinggiran hutan.

Aku kembali menyalakan ponselku untuk kugunakan sebagai alat penerangan. Ponselku adalah sebuah ponsel pintar yang dilengkapi dengan fitur senter. Syukurlah teknologi telah membuat kehidupan menjadi lebih mudah. Aku berusaha mengingat di mana saklar lampu ruangan berada. Tetapi baru saja satu atau dua langkah kaki telanjangku menapak lantai, aku merasakan sesuatu yang cukup basah dan sensasi dingin menyeruak syaraf di telapak kakiku. Aku menyorot ke bawah.

Jantungku mencelos.

Darah.

Sebuah bercak darah berwarna merah pekat. Aku berjingkat dan hampir terjelembab. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan kuhembuskan lewat mulut dengan cepat. Seumur-umur, aku belum pernah terlibat dalam masalah yang cukup mengerikan seperti ini. Selain itu aku juga harus menemukan isteri dan anakku. Aku mendekati tembok dan mencari saklar lampu. Ada sedikit rasa ketenangan ketika aku menemukannya. Aku menaikkan saklar tersebut.

Tetap gelap dan tidak terjadi apa-apa.

Sial! Listrik padam di saat seperti ini?

Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan kecil bernada lirih yang tak jauh dari tempatku berdiri. Bulu romaku sempat berdiri menegang. Aku menyorot senter yang terdapat di ponselku ke sekeliling. Tetapi aku sempat fokus kepada bercak darah yang kuinjak tadi. Bercak-bercak darah itu seperti membuat jalur. Perlahan kuarahkan senter sembari menyusuri jejak darah tersebut. Suara rintihan seperti menahan sakit itu lama-lama makin jelas. Aku sempat mendengar ada yang memanggil-manggilku.

"Papa ... Papa ...." Aku terkesikap ketika kuarahkan senterku menuju sumber dari bercak darah yang semakin-lama semakin membesar dan terlihat sosok anak kecil menatapku dengan tatapan mata yang berkilat-kilat tajam tertempa sinar dari senter ponselku. Ia memegangi lengannya yang mengucurkan banyak darah.

"Papa ...." Itu anakku.

Dengan dua-tiga langkah cepat, aku menghampiri anakku yang tersandar di ambang pintu kamar. Aku menyoroti dia dan memastikan itu benar-benar anakku.

"Apa yang terjadi, sayang?? Ada apa dengan lenganmu?" tanyaku sembari mengelus rambut anakku.

"Papa, kurasa ini terasa menyakitkan," ujarnya seraya mendesis menahan sakit. Betapa sialnya malam hari ini. Lampu yang mati dan sekarang anakku terluka. Situasi yang benar-benar buruk dan aku membenci hal ini.

"Tekan lukanya, ayah akan mencari kotak obat," kataku seraya menggengamkan tangan anakku ke lengannya yang terluka. Aku berusaha berpikir. Teringat aku meletakkan kotak obat di kamar. Aku masuk ke kamar dan mencari-cari kotak obat di sebuah meja yang penuh dengan tas dan beberapa barang. Senterku sempat menyorot sebuah brosur. Seketika itu juga aku baru teringat. Kami sekeluarga tengah menikmati liburan kami di daerah pinggiran hutan di Oregon. Kami menyewa sebuah kabin kayu untuk menginap dan kami telah habiskan liburan kami selama empat hari.

Akhirnya aku menemukan kotak obat yang kucari. Aku membukanya, mengambil gulungan perban, alkohol, dan cairan pembersih luka. Mendadak aku mendengar bunyi langkah di lantai kayu secara samar-samar. Anakku memanggil-manggilku dengan nada ketakutan.

"Papa! Papa! Dia datang lagi!" panggilnya setengah berbisik.

"Siapa?" tanyaku.

"Yang mencoba memotong tanganku, Pa!"

Aku terkesikap. Anakku terluka dan istriku kini entah kemana. Bunyi langkah tersebut lama-lama semakin keras dan sepertinya ada sesuatu yang mendekat menuju kami berdua. Aku mendekati anakku yang masih tersandar di ambang pintu kamar.

Sebuah bahaya yang terpikir olehku pertama kali adalah kisah para turis yang dibunuh secara misterius di kabin kayu di pinggiran hutan seperti ini. Rumor mengatakan kalau para pembunuh berdarah dingin, psikopat, atau bahkan 'makhluk' dari dimensi lain secara tiba-tiba datang untuk mengganggu siapapun yang menginap di penginapan semacam ini.

Kreet! Kreet!

Anakku dengan perlahan merangkak mendekatiku yang masih di dalam ruang. Tiba-tiba saja sesosok bayangan yang lebih gelap, kontras dengan cahaya di sekitar berada persis di depan pintu, tempat anakku tadi bersandar.

Aku menyorot bayangan itu. Itu istriku, memakai baju dengan noda darah dimana-mana sembari membawa sebuah pisau dapur. Ia menatap kami berdua dengan tatapan dingin. Melihat semuanya, aku begitu jelas sekarang.

"Demi Tuhan! Sayang, apa yang kau lakukan!?" ujarku.

"Aku bosan dengan anak kita, sayang ...," ucapnya santai.

"Kau tahu apa kata terapismu. Lupakan ketakutanmu! Terima saja anak kita!" Aku mencoba memberinya nasihat.

"Persetan!" Istriku tiba-tiba maju dan hendak menerjang anakku. Namun aku menghadangnya dan seketika itu juga ada rasa sakit yang perlahan muncul. Perlahan aku terjatuh di atas lantai. Rasa perih yang amat sangat menjalar dari pinggangku dan pandanganku mulai kabur. Terdengar anakku menjerit ketakutan ketika istriku mendekatinya.

Aku sempat merasakan ada sesuatu yang terasa seperti gumpalan bulu yang cukup kasar menempel di pipiku. Aku menyorotkan ponselku ke gumpalan tersebut dan perlahan aku mengerti mengapa tiba-tiba istriku menjadi seperti itu.

Ketika aku menyorot senter di ponselku ke arah istriku yang hendak menyerang anakku. Terlalu jelas untuk terlihat dengan kondisi sekarat.

Wajah setengah hewan itu menyeringai kepadaku.

Sial.

Tentang Teror Dari Negeri Di Seberang LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang