Jiangshi

434 10 1
                                    

Li Ming dan Xu Jia Le berusaha menahan dingin dan kantuk demi menyelesaikan misi mereka. Semenjak sekiranya dua minggu yang lalu, mereka terus menggali terowongan dari halaman kediaman Li Ming. Sisa waktu yang sedikit membuat mereka memacu gerakan walau embusan angin malam membuat mereka menggigil.

Mereka berhenti menggali saat sekop mereka bertubrukan dengan sesuatu yang keras. Mereka mengelap pasir kering yang menyelimuti sebuah peti kayu berukuran sedang, lalu membukanya. Cahaya lentera menyorot sesuatu yang berkilau: kalung mutiara dan emas.

"Keluarga Huang memang licik. Menyimpan kekayaan untuk diri sendiri dan mengabaikan kita yang meminta bantuan .... Untung saja mereka sedang berlibur." Li Ming berusaha menenangkan dirinya dengan tangan yang menutupi kedua matanya.

Debak. Li Ming melayangkan tinju ke tanah saking kesalnya. Namun, ia dapat merasakan sesuatu yang aneh membentur tangannya. Ia meraih kembali sekopnya dan lanjut menggali. Awalnya Jia Le hanya terdiam, tetapi ia turut membantu saat Li Ming menyuruhnya untuk mengangkat sebuah peti kayu berukuran panjang.

"Mungkin di dalam sana ada harta yang lebih banyak. Lebih baik aku menginfakkannya daripada keluarga Huang berfoya-foya." Pikiran itu mendorong Li Ming untuk membuka peti tersebut. Alangkah terkejutnya mereka, saat melihat isi dari peti tersebut adalah sebuah mayat yang menebarkan bau busuk.

Sesaat, benak mereka seperti berhenti berfungsi. Bahkan Jia Le sampai menahan napasnya. Bukannya mereka tidak pernah melihat mayat, tetapi mayat yang mereka lihat kali ini berbeda. Mayat lelaki itu terbaring kaku dengan changshan--sejenis pakaian panjang di Cina--hitam yang membalut tubuh berkulit kebiruan pucatnya. Jia Le dapat merasakan bulu tengkuknya meremang saat ia melihat wajah sosok yang familier itu. Rongga mata kosong tanpa bola mata yang dihiasi dengan kantung mata tebal. Ia merasa ditarik paksa ke dalam mimpi buruk. Dengan napas tersengal, tangannya segera meraih tutup peti, tetapi Li Ming segera menepisnya.

"A-apa yang kauperbuat? Kita harus pergi ... sekarang juga." Tangan Jia Le yang bergetar mengguncang pelan bahu Li Ming. Jia Le berusaha menghalangi Li Ming yang mengambil perhiasan kepunyaan mayat lelaki, tetapi wanita itu berhenti saat tangannya menyentuh leher keriput si mayat yang telah membusuk. Ia jatuh terduduk sambil menelungkupkan tangan untuk menutupi wajahnya. "Aku menyentuhnya. Dia ... dia akan menyedotku sampai kering."

Li Ming melepas kertas kuning dengan guratan aneh yang tertempel di dahi mayat itu, lalu berbalik dan bertanya, "Hei, Jia Le! Apa kertas ini terkesan familier untukmu? Sepertinya aku sering melihat ini ... di pintu rumahku. Ah!"

Jia Le mendongakkan kepalanya. Ia memekik lengking saat melihat mayat melompat ke tanah di atas mereka. Mereka segera berlari naik dengan napas memburu. Namun, di saat genting seperti itu, Li Ming baru teringat bahwa ia melupakan peti kayunya. Ia hendak berlari balik, tetapi sekali lagi, Jia Le menghadangnya. "Kita harus pu-pulang sekarang. Sebelum ... jiangshi itu ... mengejar kita," lontar Jia Le dengan tangan dingin mengepal erat.

Belum sempat mereka berdebat, sosok jiangshi itu sudah mendekati mereka. Makhluk itu terus melompat maju dengan tangan terentang ke depan. Kuku panjang nan tajam miliknya membuat Jia Le bergidik dan menatap horor. Jia Le lekas menarik lengan sobatnya. Tidak ingin menghabiskan sedetik pun untuk berlama-lama dengan sosok itu.

Seperti biasa, orang akan berlari untuk kabur dari sesuatu yang mengejar mereka. Namun, mereka tidak sadar bahwa berlari menguras tenaga yang terlalu banyak dan membuat orang semakin aktif bernapas. Itulah hal yang diincar para jiangshi itu. Dan itu pula hal yang dilakukan oleh Jia Le dan Li Ming.

Mereka berlari menyusuri jalan di pemakaman terpencil. Dilema. Apa mereka harus bersembunyi di kediaman keluarga Huang--sebagai satu-satunya bangunan di daerah pemakaman ini--atau kembali ke kediaman Li Ming melalui terowongan yang mereka buat? Keduanya terlalu berisiko, tetapi Li Ming berusaha menahan kebenciannya dan memilih opsi pertama.

Tentang Teror Dari Negeri Di Seberang LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang