Ara! Kuchisake?

325 9 0
                                    


Jangkrik mengerik adalah tanda kalau kesedihanku hari ini seharusnya kuakhiri saja. Namun sialnya, aku tidak bisa. Alih-alih tidur, mataku malah tertuju ke arah meja di samping ranjang. Di atasnya, sebuah foto bertengger tegak. Aku menggapainya, mengamati serpihan masa lalu itu. Sebuah foto aku dan dia. Aku dengan seragam sekolahku, dan dia dengan kaus oblong berwarna hitam. Ada sendu ketika aku menatapnya. Sendu yang tercampur dengan perasaan sakit yang luar biasa menusuk.

Aku terkekeh lirih, melihat jaket hijau yang membelit di pinggangku dan menjuntai menutupi hampir seluruh paha bagian belakang. Kugelengkan kepala dengan perlahan, mengingat waktu itu ... rokku kotor. Terkena cat merah. Ribuan kali aku cuci, tetapi tidak hilang. Noda itu malah menjadi ambigu, dan kakakku memberikan jaketnya ketika dia menjemputku di sekolah. "Malu," katanya. Namun, aku malah tertawa mendengarnya. Aku menceritakan semuanya di bantaran sungai, lalu mengambil foto ini.

Hari pertama tidur di kamar baru, aku tidak bisa tidur. Efek lingkungan? Tidak. Ketika kecil, ini kamarku. Aku dan kakakku selalu tidur bersama, beralaskan ranjang yang sama dengan yang sedang aku tiduri. Sayangnya, semenjak aku pergi, aku berpisah dengan kakakku dan tidak akan pernah bertemu lagi sampai kapan pun.

Delapan tahun, kalau dihitung, aku di perantauan. Ingar-bingar Kyoto tempatku sekolah, kini aku tinggalkan. Aku kembali ke kampung kelahiranku di sudut lor pulau Honshu. Orang-orang menyebutnya Desa Shiro. Bukan karena tempatnya yang putih dan ayu, tetapi justru karena misteri di dalamnya. Putih, seperti upacara pemakaman. Hening. Dingin.

Sekali-dua aku periksa ponselku, tetapi jaringan tidak mau masuk. Aku berencana untuk melakukan sesuatu untuk ini besok hari. Untuk sekarang, aku harus tidur. Jam ponsel mengatakan kalau ini sudah terlalu larut. Namun, sial, keheningan ini terlalu menusuk. Suara jangkrik pula terdengar, membuat sepi semakin menjadi.

Kucoba kututup mata, menarik selimut agar aku tidak kedinginan dan bisa tidur. Sebenarnya, inilah yang aku lakukan semenjak tadi. Namun, setiap kali hendak tertidur, aku kembali bangun.

Entah kenapa, aku tidak tahu. Namun, aku mendengar ada suara gemercik, tidak jauh dari bawahku setiap aku mulai menutup mata. Berulang kali aku periksa, tetapi tidak ada apa pun di kolong ranjang. Yang ada hanya debu dan sudah, tidak ada apa-apa lagi. Makanya sekarang, kucoba abai dengan itu. Kuharap bisa tertidur.

Tidak lama, aku mulai terlelap. Aku merasakan sensasi kehilangan kesadaran. Sialnya, hanya sebentar dan aku kembali terbangun. Kali ini, bukan suara air, tetapi yang lain yang aku dengar dan itu membuatku spontan bergidik ngeri. Sesuatu seperti bisikan di telinga, bisikan yang halus yang membangunkanku. Bisikan ... lirih, dan bukan embusan angin.

Aku mengelus tengkuk, berusaha mengusir remang di tubuhku. Aku membuka mata, menengok sekitar, dan mengembuskan napas lega karena tidak ada apa-apa. Meski begitu, otakku masih bertanya, yang barusan itu, apa?

Aku menggeleng. "Sudahlah. Tidak usah dipikirkan." Akan tetapi, tetap saja aku memikirkan itu hingga aku hanya bisa duduk bersandar sambil diam.

Selama sekitar tiga menit aku bergeming dalam bisu. Di menit berikutnya, setelah berpikir intens, aku beranjak. Kujejak kaki di atas lantai kayu, menuju ruang santai di mana biasanya orangtua dan kakakku bersantai—menonton televisi.

Lantai ini, anehnya, dingin. Sedingin keramik di malam hari. Namun, kupikir ini hanya karena aku sudah terlalu terbiasa dengan kota yang panasnya luar biasa. Sehingga ketika kembali pulang kampung, aku merasa kedinginan. Entahlah.

Sesampainya di ruang tengah, aku hanya berdiri. Tempat ini masih sesepi yang kuingat. Ruang santainya pun sama sepi seperti dulu. Aku tersenyum menatap sofa, berjalan ke arahnya. Mengelus lengan kursi, mendudukkan diri. Membayangkan bagaimana ayah dan kakakku menghabiskan waktu bersama, selama aku berkuliah dan bekerja di kota. Sayang, sekarang mereka sudah tidak ada lagi.

Tentang Teror Dari Negeri Di Seberang LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang