Kematian adalah rival dari kehidupan yang tak terelakkan. Sebuah takdir yang telah digariskan saat dirimu masih berupa sebuah titik kecil yang mulai mengecap kehidupan. Engkau hidup tapi mati senantiasa mengikuti. Mengikuti dan menunggu hingga akhir waktu. Ketika kematian itu tak dapat disangkal seperti engkau bangun dengan sombongnya. Kamilah para malaikat yang datang kepadamu saat waktumu usai.
***
Sebuah tinju melayang di wajah Blade Elsdon. Ia terpental dan jatuh disertai bibir pecah dan berdarah. Tidak hanya satu pukulan yang dilayangkan oleh Osric Darnell terhadap Elsdon. Ketiga teman Osric yaitu Eddie, Wesley dan Raymond juga ikut membantu. Menghajar Elsdon yang mereka sebut Si miskin. Si miskin yang berasal dari tempat terpencil di Inggris—Pegunungan Aglia Timur, tempat di mana tanaman gandum tumbuh subur. Elsdon adalah anak dari seorang janda yang memilki sepetak lahan kecil di daerah itu.
Pada masa itu, di mana era revolusi industri tumbuh pesat. Kesenjangan sosial tampak jelas dalam kasta negri ini. Bagi seorang rakyat miskin adalah suatu hal yang luar biasa jika mereka dapat berkuliah. Apalagi berkuliah disalah satu Universitas terbaik di dunia—Oxford University, Universitas kebanggaan dunia yang terletak di kota Oxford, Britania Raya. Beasiswa Oxford yang mengantarkan Elsdon sampai disini. Si miskin—julukan yang diberikan Osric sebagai dasar hukum penindasannya terhadap Elsdon.
"Hei miskin! Jangan pernah berharap menyukai Annete putri bangsawan itu! Kamu harusnya tahu kalau Annete hanya pantas untukku!" kata Osric disertai tendangan terakhirnya ke arah perut Elsdon. Ketiga teman lainnya hanya tertawa melihat keadaan mengenaskan itu.
"Fuck!" Elsdon berbisik tanpa melawan.
Siang itu, dengan masih berbalut rasa sakit, Elsdon duduk di pinggir sungai Thames yang mengalir di sepanjang kota Oxford hingga London. Ia menatap ke arah genangan. Memikirkan kepulangan sore nanti menuju Lancashire, kota kelahirannya.
Dalam kerinduan itu, ia terbayang akan wajah ibunya.
"Apa aku akan pulang dengan luka disekujur tubuh? Hah ... aku takut ibu akan khawatir," Elsdon terdiam sejenak dan menghela nafas panjang. "Tapi, satu setengah tahun aku belum pernah pulang ke kampung halaman. Keterbatasan ekonomi dan daerah terisolasi membuat aku dan ibu susah terhubung. Yah! Aku harus pulang!" kata Elsdon dalam hati.
Sore sekitar pukul 05.30 PM waktu setempat, kereta api mengantarkan Elsdon ke kota Lancashire. Ia masih harus manaiki kereta kuda sejauh dua kilometer menuju rumahnya. Matahari telah tenggelam ketika Elsdon sampai di rumah.
"Ibu ... aku pulang!"
"El, syukurlah kau telah tiba," kata ibu yang terbaring lemah diatas tikar yang beralaskan batang gandum yang telah mengering.
"Bu? Ibu sakit? Kenapa tidak memberi kabar?" kata Elsdon yang duduk disamping tempat tidur ibunya.
"Ibu takut jadi beban pikiranmu. Lagipula ibu akan selalu menunggumu kembali, terutama hari ini. Di usiamu 20 tahun ini, ibu rasa kau ...," Ibu menghentikan kalimatnya sejenak diselingi nafas panjang yang lelah. "Kau sudah cukup dewasa untuk menerima warisan turun-temurun, El."
"Sepetak lahan gandum?" tanya Elsdon dengan rasa tidak penasaran.
"Ya. Satu lagi berupa sabit. Menurut leluhurmu itu benda keramat. Jadi, simpan baik-baik sabit itu."
Dua minggu kemudian, setelah Si ibu menyampaikan wasiatnya. Ibu Elsdon meninggal dunia. Kini, hanya Elsdon sebatang kara. Setelah pemakaman ibunya, ia kembali ke Oxford dan membawa sabit keramatnya untuk melanjutkan aktivitas kuliahnya yang memasuki semester baru. Sementara, ladang gandumnya ia titipkan kepada tetangga yang sangat ia percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Teror Dari Negeri Di Seberang Lautan
Short StoryTantangan pertama dari admin Club Cerpenis Indonesia! Selamat menikmati karya cerpenis kami dalam buku ini! Tantangan dimulai: Hari ini, 21 Februari 2016. Bagi anggota, selamat berkarya. Bagi pembaca, selamat membaca!